Ma’rifatullah: Mengenal Allah sebagaimana Dia Memperkenalkan
Diri-Nya
“Sesungguhnya,
Aku Allah ; tiada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku, dan dirikanlah shalat
untuk mengingat-Ku; (20:14)
Memahami Tabi’at Allah
Sebelum kami membicarakan sifat-sifat
Allah, perlu kami mengingatkan para pembaca tentang adanya salah paham mengenai
Tabi’at Tuhan. Dalam Al-Quran, Allah dikatakan sebagai Yang melihat, mendengar,
berbicara, marah, mencintai, penuh kasih sayang, menguasai, mengawasi dan
sebagainya. Tetapi digunakannya sifat-sifat itu janganlah diartikan bahwa Allah
itu seperti manusia, karena dalam Al-Quran diuraikan seterang-terangnya bahwa
Allah adalah di atas segala paham kebendaan. Al-Quran berfirman: “Penglihatan
tak dapat menjangkau Dia, dan Dia menjangkau semua penglihatan” (6:104). Dan
Allah bukan saja di atas batas-batas kebendaan, melainkan pula di atas
batas-batas pepindan (metaphor). Al-Quran berfirman: “Tak ada sesuatu pun yang
menyerupai Dia” (42:11).
Untuk menyatakan kecintaan Allah, kekuasaan-Nya,
ilmu-Nya dan sifat-sifat-Nya yang lain, memang harus digunakan kata seperti itu
yang biasa digunakan sehari-hari, namun pengertian kata-kata itu sangatlah
berlainan. Jika dikatakan Allah melihat, ini tidaklah berarti Allah melihat
dengan mata seperti kita yang membutuhkan cahaya untuk melihat sesuatu seperti
kita. Atau jika dikatakan Allah mendengar, ini tidaklah berarti Allah mempunyai
telinga seperti kita, atau membutuhkan udara atau sarana lain agar suara dapat
didengar oleh-Nya. Atau apabila dikatakan Allah menciptakan atau membuat
sesuatu, ini tidaklah berarti Allah mempunyai tangan seperti kita, atau ia
membutuhkan bahan untuk membuat sesuatu.
Demikian pula cinta, perkenan,
marah, dan kasih sayang Allah, semuanya tak tergantung kepada anggota badan
seperti manusia. Sekalipun di dalam Al-Quran terdapat ayat yang menerangkan
“tangan Allah” (5:64), tetapi ini hanyalah untuk menyatakan tak terbatasnya
kekuasan Allah dalam menganugrahkan nikmat-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki.
Kata yad yang artinya tangan, ini digunakan pula secara kiasan dalam arti
nikmat (ni’mah), atau perlindungan
(hifazhah). Demikianlah dalam 2:237 tercantum kalimat yang berbunyi: “orang
yang tali pernikahan ada di tangannya”, dimana kata yad/tangan di sini digunakan dalam arti kiasan.
Dalam kitab Nihayah diterangkan
bahwa kata yad berarti hifzun (perlindungan), dan difa’ (pembelaan), dan untuk memperkuat
itu, dikutipnya satu Hadits tentang Ya’juj
wa Ma’juj yang berbunyi: la yadani li
ahadin liqitalihim, artinya, tak seorang pun mempunyai kekuatan (yadani, makna aslinya dua tangan) untuk
memerangi mereka.Oleh sebab itu, menurut idium bahasa Arab, kata yadullah (tangan Allah) dalam 5:64, berarti
nikmat Allah.
Salah paham lain lagi, bahkan salah
paham besar, ialah mengenai arti kata al-kasyfu ‘anis-saqi. Kesalahan itu tiada
lain hanyalah karena tak tahu akan idium bahasa Arab, hingga kata-kata itu
diterjemahkan tersingkap betisnya. Kata-kata itu tercantum dua kali dalam Al-Quran,
pertama, sehubungan dengan Ratu Sheba (27:44), dan yang kedua, dalam bentuk
passif, tanpa disebutkan sasarannya (68:42). Kata-kata itu tak pernah digunakan
sehubungan dengan Allah. Kata saqun yang artinya betis itu, jika digunakan
dalam ungkapan al-kasyfu ‘anis-saqi, artinya berlainan sekali, kata dalam hal
ini kata saqun berarti kesukaran atau kesusahan. Jadi, kata al-kasyifu
‘anis-saqi artinya bersiap-siap untuk menghadapi kesukaran atau keluar dari
kesusahan (TA., LL.).
‘Arsy Allah
Al-Quran menguraikan ‘Arsy atau
Singgasana Allah, tetapi ‘Arasy itu bukanlah tempat, melainkan gambaran tentang
penguasaan Allah atas segala sesuatu, sebagaimana singgasana raja melambangkan
kekuasaan raja untuk memerintah. ‘Arsy Allah adalah salah satu di antara segala
sesuatu yang manusia tak tahu akan hakikatnya kecuali hanya namanya saja, dan
itu tidaklah seperti yang terbayang dalam pikiran orang awam … Dan ‘Arsy
mengandung arti kekuasaan atau kekuatan dan pemerintahan (R).
Istawa ‘alal-arsy adalah bentuk kalimat yang berulang-ulang dicantumkan dalam
Al-Quran sehubungan dengan kata ‘Arsy, dan kalimat itu selalu dicantumkan
sesudah uraian Al-Quran tentang terciptanya langit dan bumi, dan bertalian
dengan pengawasan Allah terhadap makhluk-Nya, dan bertalian pula dengan
undang-undang dan aturan, yang dengan undang-undang itu seluruh alam semesta
ditundukkan oleh Penguasa Yang Maha-tinggi.
Kata istawa jika diikuti dengan kata ‘ala
ini berarti Dia mempunyai kekuasaan atas sesuatu, atau mempunyai wibawa
terhadap itu (R). Dalam Al-Quran tak ada ayat yang menerangkan bahwa Allah
bersemayam di atas ‘Arsy; hanya kekuasaan Allah sajalah yang selalu diuraikan
bertalian dengan ‘Arsy itu.
Salah paham lain lagi ialah mengenai
kata kursiyy (makna aslinya kursi) yang oleh sebagian ulama dikira kursi
sungguh-sungguh, padahal menurut ulama lain, yakni sahabat Ibnu ‘Abbas, beliau
menjelaskan bahwa yang dimaksud kursiyy ialah ilmu atau pengetahuan (Bal.
2:255). Bahkan menurut para ahli kamus bahasa Arab, kata kursiyy dalam ayat itu
berarti ilmu Allah atau kerajaan Allah (R). Oleh karena itu, yang dimaksud
kursiyy dan ‘Arsy hanyalah ilmu dan kekuasaan Allah.
Nama-Nama Tuhan
Allah adalah nama Tuhan (Ismu dzat),
untuk membedakan dari nama yang lain yang disebut asma’us-shifat atau nama yang
menunjukkan sifat. Kata Allah juga disebut ismu a’zam atau nama yang amat
mulia. Oleh karena kata Allah itu nama, maka tak mempunyai arti. Tetapi oleh
karena kata Allah itu nama Dzat Tuhan maka itu mencakup segala sifat yang
diuraikan tersendiri berupa asma’ul-husna atau nama-nama yang indah. Oleh sebab
itu, nama Allah dikatakan sebagai nama yang menghimpun segala sifat Allah yang
sempurna. Oleh karena kata Allah itu nama, maka itu jamid, artinya, tak digubah
dari perkataan lain. Kata Allah tak ada sangkut pautnya dengan kata ilah (dewa
atau pujaan), yang kata ini berasal dari akar kata aliha artinya tahayyara atau
ta’ajub; atau digubah dari kata wilahdari akar kata waliha, artinya
tergila-gila.
Kadang-kadang ada yang mengatakan
bahwa kata Allah itu kependekan dari kata al-ilah, tetapi pendapat itu keliru,
karena jika al dari kata Allah itu suatu awalan, maka bentuk kalimat ya Allah
itu tak dibenarkan, seperti tak dibenarkannya bentuk kalimat ya al-ilah atau ya
ar-Rahman; padahal bentuk kalimat ya Allah itu sudah benar. Selain itu, dugaan
tersebut mengandung arti, bahwa pada zaman dahulu ada bermacam-macam dewa
(alihah) jamaknya dari kata ilah.Di antara para dewa itu ada satu yang lambat
laun dikenal dengan nama al-ilah, lalu dipendekkan menjadi Allah. Ini adalah
bertentangan dengan kenyataan, karena kata Allah itu selalu menjadi nama “Dzat
Yang Hidup Kekal” (DI). Dan menurut para ahli kamus bahasa Arab, kata Allah tak
pernah digunakan untuk menamakan siapa pun selain Tuhan. Bangsa Arab mempunyai
banyak ilah atau pujaan, tetapi tak ada satu pun yang pernah diberi nama Allah;
sedang Yang Maha-tinggi yang disebut Allah, diakui oleh bangsa Arab sebagai
Pencipta alam semesta, jauh lebih tinggi dari pujaan mereka (29:61), dan tak
pernah ada dewa lain, betapa pun besarnya dewa tersebut, dianggap sebagai
Pencipta alam semesta.
Empat sifat utama Allah
Di antara sifat-sifat Allah yang
tercantum di dalam Al-Quran, ada empat yang paling menonjol, dan empat sifat
itu tepat sekali disebutkan dalam Surat al-Fatihah atau Surat Pembukaan, yang,
baik menurut ijma maupun Hadits, merupakan inti Al-Quran. Surat al-Fatihah
diawali dengan nama Allah, lalu diikuti dengan sifat yang paling mulia di
antara sifat-sifat Tuhan, yakni Rabb, yang karena tak adanya terjemahan yang
paling tepat, maka Rabb ini biasa diterjemahkan dengan arti Tuhan saja. Menurut
ahli kamus Al-Quran kenamaan, arti kata Rabb ialah Yang memelihara sesuatu
demikian rupa, melalui tingkatan yang satu lepas tingkatan yang lain, hingga
itu mencapai tujuan yang sempurna (R).
Oleh karena itu, Rabb berarti Tuhan Yang
membimbing segala sesuatu di alam semesta ini menuju tujuan kesempurnaan
melalui berbagai tingkat perkembangan; dan oleh karena tingkat
perkembangan itu meliputi dari yang serendah-rendahnya hingga
setinggi-tingginya, yang jika kembali ke belakang dan terus ke belakang lagi,
maka kita menjadi tak ada artinya samasekali, jadi terang sekali bahwa kata
Rabb mengandung arti Dzat Yang membimbing ke arah kesempurnaan, karenanya Rabb
sifat Tuhan yang paling utama; oleh sebab itu, semua do’a itu biasanya
ditujukan kepada Rabb, dan tiap-tiap do’a selalu diawali dengan kata Rabbanaa
artinya Wahai Tuhan kami8. Sungguh tepat sekali bahwa Al-Quran memberi
tempat istimewa kepada sifat Rabb yang ditempatkan sesudah nama Allah.
Susunan yang diambil oleh Al-Quran
dalam menguraikan sifat-sifat Allah sangat ilmiah sekali. Nama Allah disebutkan
pertama kali dalam Surat al-Fatihah, lalu disusul dengan Rabb, yaitu sifat
Allah yang amat penting. Pentingnya dua nama itu dapat dibuktikan dengan adanya
kenyataan bahwa dalam Al-Quran dicantumkan nama Allah sebanyak 2.800 kali,
sedang nama Rabb, sebanyak 960 kali. Tak ada nama Tuhan lainnya yang begitu
kerap disebutkan dalam Al-Quran.
Nama penting lainnya yang begitu
kerap disebutkan dalam Al-Quran ialah Rahman, Rahim, dan Malik, yang dalam
Surat al-Fatihah diletakkan sesudah Rabb. Sebenarnya, tiga nama ini menunjukkan
bagaimana sifat rububiyyah Allah dilaksanakan. Kata Rahman dan Rahim berasal
dari akar kata yang sama, yaitu rahmah, yang artinya, kelembutan hati yang
menuntut pemberian kasih sayang kepada orang atau sesuatu yang disayangi; jadi
ini mencakup pengertian cinta dan kasih. Kata rahman digubah dari wazan fa’lan,
menunjukkan melimpah-limpahnya rahmah pada Allah, dan kata rahim digubah dari
wazan fa’il yang menunjukkan berulang-ulangnya rahmah itu. Mengingat perbedaan
itu, maka rahman mengandung arti bahwa cinta dan kasih Allah begitu melimpah
hingga Allah menganugerahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada manusia
sekalipun mereka tak berbuat sesuatu yang menyebabkan mereka pantas menerima
rahmat itu. Pemberian segala kebutuhan hidup untuk mengembangkan jasmani
mereka, ini semata-mata berkat adanya cinta-kasih Allah yang tak terhingga.
Kemudian menyusul suatu tingkatan, dimana manusia memanfaatkan bahan-bahan
pemberian Allah (rahmaniah Allah) dan digunakan untuk mengembangkan jasmani dan
rohaninya. Pada tingkatan inilah muncul sifat Allah yang nomor tiga, yaitu
rahim, yang melalui sifat ini Allah mengganjar setiap perbuatan baik dan benar
yang dilakukan manusia, dan selama manusia tak henti-hentinya melakukan itu,
maka kasih-sayang Allah yang dipertontonkan melalui sifat Rahim juga akan terus
bekerja. Sifat rahimiyah ini terus bekerja dalam perkembangan jasmani maupun
rohani manusia.
Diriwayatkan bahwa Nabi Suci bersabda: “Ar-Rahman ialah Tuhan
Yang Maha-pemurah, Yang cinta-kasih-Nya diwujudkan di alam dunia ini, dan Rahim
ialah Tuhan Yang Maha-pengasih Yang cinta-kasih-Nya diwujudkan pada hari
kemudian” (BM. I, hal. 17).
Tetapi untuk membimbing sekalian
makhluk menuju ke arah kesempurnaan masih diperlukan adanya sifat Allah yang
lain. Sebagaimana ketaatan kepada undang-undang menyebabkan kemajuan manusia
dan mendatangkan ganjaran, demikian pula pelanggaran terhadap undang-undang
akan menyebabkan terhambatnya kemajuan dan mendatangkan siksaan. Sebenarnya
menghukum orang yang salah, itu menurut ketetapan Tuhan sama perlunya dengan
mengganjar manusia yang berbuat baik, dan hukuman itu sebenarnya hanya suatu
tingkatan dari pelaksanaan sifat Rububiyah, karena tujuan terakhir adalah demi
kebaikan manusia itu sendiri.
Oleh karena itu, sebagaimana sifat rahim itu
diperlukan untuk mengganjar orang yang berbuat baik atau taat kepada
undang-undang, maka amat diperlukan sifat yang lain untuk menghukum orang yang
berbuat jahat. Itulah sebabnya mengapa dalam Surat al-Fatihah, sifat rahim
diikuti oleh sifat maliki yaumiddin atau Yang Memiliki hari pembalasan.
Penggunaan kata malik (maknanya
Pemilik) sehubungan dengan hukuman terhadap perbuatan jahat ini mempunyai arti
yang dalam, karena biasanya, untuk menentukan hukuman terhadap suatu kejahatan,
orang harus menantikan keputusan hakim. Adapun perbedaan penting antara hakim
dan pemilik ialah, hakim harus menjalankan keadilan dan harus menghukum setiap
kejahatan yang dilakukan oleh penjahat, sedangkan pemilik, ia boleh berbuat
sesukanya, ia boleh menghukum si penjahat, dan boleh pula mengampuninya, bahkan
boleh pula membiarkan dia menjalankan kejahatan yang lebih besar lagi 9.
Pengertian ini dikembangkan
sepenuhnya dalam Al-Quran yang menerangkan berulangkali bahwa perbuatan baik
mendapat ganjaran lipat sepuluh atau bahkan lebih, tetapi perbuatan jahat hanya
mendapat hukuman setimpal atau bahkan diampuni. Dalam Al-Quran diuraikan, bahwa
kasih-sayang Allah begitu besar, hingga “Dia mengampuni semua dosa” (39:53).
Oleh sebab itu, diketengahkannya sifat Malik adalah untuk menghubungkan antara
hukuman dan pengampunan, dan itulah sebabnya mengapa diletakkan dalam urutan
sifat yang penting, sifat Malik diletakkan sesudah sifat Rahim dalam Surat
al-FAtihah, sedang dalam seluruh Al-Quran, sifat Ghafur atau Yang
maha-pengampun menempati kedudukan yang penting. Dua sifat pertama, rahman dan
rahim dengan segala bentuk kata kerjanya, tercantum sebanyak 580 kali, dan
sifat ghafur yang frekwensinya di bawah sifat rahman dan rahim dengan segala
kata kerjanya, tercantum sebanyak 230 kali. Oleh sebab itu terang sekali bahwa Al-Quran
memberi tempat utama kepada sifat kasih-sayang Allah yang tak ada taranya, yang
tidak pernah dijumpai dalam Kitab Suci yang lain di manapun.
Sembilan puluh sembilan Al-Asma’ul-Husna
Menilik penjelasan yang telah kami
berikan tentang empat sifat utama, Rabb, Rahman Rahim dan Malik, dan menilik
frekwensi dicantumkannya empat sifat itu dalam Al-Quran yang tak dapat
ditandingi oleh lain-lain sifat, dan menilik disebutkannya empat sifat itu
dalam Surat al-Fatihah, terang sekali bahwa Al-Quran memandang empat sifat itu
sebagai sifat Allah yang paling utama, dan sifat Allah selebihnya hanyalah
merupakan cabang dari empat sifat utama itu.
Berdasarkan Hadits yang diriwayatkan
sahabat Abu Hurairah, yang Hadits itu dianggap gharib (lemah) oleh Imam
Thirmidhi, diterangkan sembilanpuluh sembilan nama Tuhan; jika ini ditambah
dengan nama Allah, maka genaplah menjadi seratus. Nama-nama itu sebagian dimuat
dalam Al-Quran, sedang sebagian lagi hanya berupa penarikan kesimpulan dari
beberapa perbuatan Allah yang diuraikan dalam Al-Quran. Tetapi tak ada satu
dalil pun yang menganjurkan supaya orang menghitung nama-nama itu dengan tasbih
atau dengan cara apa pun. Baik Nabi Suci maupun para sahabat tak ada yang
pernah menggunakan tasbih.
Al-Quran berfirman: “Dan nama-nama
yang amat mulia (asma’ul-husna) adalah kepunyaan Allah, maka menyerulah
kepada-Nya dengan nama-nama itu, dan tinggalkanlah orang yang merusak kesucian
nama-Nya” (7:180). Hubungan ayat ini dengan ayat sebelum dan sesudahnya
menunjukkan, bahwa menyeru kepada Allah dengan nama-nama-Nya (asma’ul-husna),
hanya berarti bahwa segala sifat yang merendahkan martabat Allah yang tinggi,
tak boleh disifatkan kepada-Nya, karena dalam bagian kedua ayat tersebut
diterangkan bahwa orang yang merusak kesucian nama Allah diberi peringatan
keras 10; adapun merusak kesucian nama Allah itu diterangkan
sejelas-jelasnya bahwa yang dimaksud ialah, mengakukan kepada Allah sifat-sifat
yang tak sesuai dengan martabat-Nya yang tinggi, atau mengakukan sifat-sifat
Allah kepada selain Allah.
Oleh sebab itu, menyeru kepada Allah
dengan asma’ul-husna berarti, sifat-sifat Allah yang luhur harus diakukan
kepada Allah saja. Adapun nama-nama Allah (asma’ul-husna) yang disebutkan dalam
Al-Quran adalah sebagai berikut:
1. Nama yang berhubungan dengan
Allah ialah, al-Wahid atau Ahad (Yang Maha-esa), al-Haqq (Yang Maha-benar),
al-Quddus (Yang Maha-suci), al-Shamad (Yang segala sesuatu bergantung
kepada-Nya) sedang Dia sendiri tak bergantung kepada siapa pun), al-Ghani (Yang
Maha-cukup sendiri), al-Awwal (Yang paling awal), al-Akhir (Yang paling akhir),
al-Hayyu (Yang hidup kekal), al-Qayyum (Yang maujud sendiri).
2. Nama yang berhubungan dengan
makhluk Allah ialah, al-Khaliq (Yang menciptakan), al-Bari (Yang menciptakan
ruh), al-Mushawwir (Yang membentuk), al-Badi’ (Yang menciptakan pertama kali).
3. Nama yang berhubungan dengan
sifat cinta kasih Allah
(selain sifat Rabb, Rahman dan Rahim) ialah al-Rauf (Yang Maha-kasih dan sayang), al-Wadud (Yang penuh cinta-kasih), al-Lathif (Yang lembut hati), al-Tawwab (Yang berulang-ulang kasih sayang-Nya), al-Halim (Yang Maha penyantun), al-’Afuwwu (Yang Maha-mengampuni), al-Syakur (Yang melipatkan ganjaran), al-Salam (Pencipta perdamaian), al-Mu’min (Yang menganugrahkan keamanan), al-Barru (Yang dermawan), Rafi’ud-Darajat (Yang meningkatkan derajat), al-Razzaq (Pemberi rezeki), al-Wahhab (Yang Maha-memberi) al-Wasi’ (Yang melimpah pemberian-Nya).
(selain sifat Rabb, Rahman dan Rahim) ialah al-Rauf (Yang Maha-kasih dan sayang), al-Wadud (Yang penuh cinta-kasih), al-Lathif (Yang lembut hati), al-Tawwab (Yang berulang-ulang kasih sayang-Nya), al-Halim (Yang Maha penyantun), al-’Afuwwu (Yang Maha-mengampuni), al-Syakur (Yang melipatkan ganjaran), al-Salam (Pencipta perdamaian), al-Mu’min (Yang menganugrahkan keamanan), al-Barru (Yang dermawan), Rafi’ud-Darajat (Yang meningkatkan derajat), al-Razzaq (Pemberi rezeki), al-Wahhab (Yang Maha-memberi) al-Wasi’ (Yang melimpah pemberian-Nya).
4. Nama yang berhubungan dengan
keagungan dan kemuliaan Allah ialah: al-’Adzim (Yang Maha-agung), al-’Aziz
(Yang Maha-perkasa), al-’Aliyyu atau Muta’al (Yang Maha-luhur), al-Qawiyyu
(Yang Maha-kuat), al-Qahhar (Yang Maha-unggul), al-Jabbar (Yang memperbaiki
segala sesuatu dengan kekuatan yang luar biasa) 11, al-Mutakabbir (Yang
memiliki kebesaran), al-Kabir (Yang Maha-besar), al-Karim (Yang Maha-mulia),
al-Hamid (Yang Maha-terpuji), al-Majid (Yang Maha-jaya), al-Matin (Yang
Maha-kuat), azh-Zhahir (Yang menang), Dhul-Jalali wal-Ikram (Yang mempunyai
keagungan dan kemuliaan).
5. Nama yang berhubungan dengan ilmu
Allah ialah: al-’Alim (Yang Maha-tahu), al-Hakim (Yang Maha-bijaksana),
as-Sami’ (Yang Maha-mendengar), al-Khabir (Yang Maha-waspada), al-Bashir (Yang
Maha-melihat), asy-Syahid (Yang Maha-menyaksikan), ar-Raqib (Yang
Maha-mengawasi), al-Bathin (Yang Maha-tahu segala sesuatu yang tersembunyi),
al-Muhaimin (Yang menjaga semuanya).
6. Nama yang berhubungan dengan
penguasaan Allah terhadap makhluk ialah: al-Qadir atau Muqtadir (Yang
Maha-kuasa), al-Wakil (Yang mengurus segala sesuatu), al-Waliyyu (Yang
melindungi), al-Hafizh (Yang memalihara) al-Maalik (Raja), al-Malik (Yang
memiliki), al-Fattah (Yang memutus perkara), al-Haasib atau al-Hasiib (Yang
menghitung), al-Muntaqim atau Dhun tiqam (Yang menimpa-kan pembalasan),
al-Muqith (Yang menguasai segala sesuatu).
7. Nama Tuhan yang diambil dari
beberapa perbuatan atau sifat Tuhan yang disebutkan dalam Al-Quran ialah:
al-Qabidlu (Yang menyempitkan), al-Basithu (Yang melapangkan), al-Rafi’u (Yang
meninggikan), al-Muizzu (Yang membri kehormatan), al-Mudhillu (Yang
mendatangkan kehinaan), al-Mujib (Yang mengabulkan do’a). al-Baits (Yang
membangkitkan dari kubur), al-Muhsyi (Yang mencatat segala sesuatu), al-Mubdi
(Yang memulai), al-Mu’id (Yang mengulangi), al-Muhyi (Yang memberi hidup),
al-Mumit (Yang menyebabkan mati), Malikul-Mulk (Yang memiliki kerajaan),
al-Jami (Yang menghimpun), al-Mughni (Yang memperkaya), al-Mu’thi (Yang
memberi), al-Mani’ (Yang menahan atau mencegah), al-Hadi (Yang memberi
petunjuk), al-Baqi (Yang kekal), al-Warits (Yang mewariskn segala sesuatu).
Adapun sisa dari sembilanpuluh sembilan asma’ul-husna ialah, an-Nur (Cahaya); sebenarnya ini bukan nama Allah, Allah disebut Nur dalam arti Yang memberi cahaya (24:35); ash-Shabur (Yang Maha-sabar), ar-Rasyid (Yang menunjukkan), al-Muqsith (Yang tak berat sebelah), al-Wali (Yang memerintah), al-Jalil (Yang penuh kebesaran), al-’Adlu (Yang Maha-adil), al-Khafidlu (Yang memelihara), al-Wajid (Yang maujud), al-Muqaddim (Yang terdahulu), al-Mu’akhkhir (Yang terakhir), adl-Dlarr (Yang mendatangkan kemalangan), an-Nafi’u (Yang memberi faedah). Masih ada dua sifat Allah yang termasuk golongan ini yang akan kami bahas nanti, mengingat dua sifat ini memerlukan pembahasan yang terperinci; dua sifat itu ialah yang berhubungan dengan kalam (firman) dan iradah (kehendak).
Adapun sisa dari sembilanpuluh sembilan asma’ul-husna ialah, an-Nur (Cahaya); sebenarnya ini bukan nama Allah, Allah disebut Nur dalam arti Yang memberi cahaya (24:35); ash-Shabur (Yang Maha-sabar), ar-Rasyid (Yang menunjukkan), al-Muqsith (Yang tak berat sebelah), al-Wali (Yang memerintah), al-Jalil (Yang penuh kebesaran), al-’Adlu (Yang Maha-adil), al-Khafidlu (Yang memelihara), al-Wajid (Yang maujud), al-Muqaddim (Yang terdahulu), al-Mu’akhkhir (Yang terakhir), adl-Dlarr (Yang mendatangkan kemalangan), an-Nafi’u (Yang memberi faedah). Masih ada dua sifat Allah yang termasuk golongan ini yang akan kami bahas nanti, mengingat dua sifat ini memerlukan pembahasan yang terperinci; dua sifat itu ialah yang berhubungan dengan kalam (firman) dan iradah (kehendak).
Sifat cinta kasih Allah lebih menonjol
Terang sekali bahwa sifat Allah di
atas tak ada sangkut-pautnya dengan autokrasi, tak mengenal ampun, dendam, dan
kejam, yang biasa disangkut pautkan oleh kebanyakan penulis Eropa dengan
gambaran Allah yang dilukiskan dalam Al-Quran. Sebaliknya, sifat cinta kasihlah
yang dalam Al-Quran lebih ditonjolkan daripada dalam Kitab Suci yang lain.
Bukan saja setiap Surat diawali dengan dua sifat Rahman dan Rahim, yang ini
menujukkan bahwa cinta kasih Allah itu amat menonjol, melainkan Al-Quran
melangkah lebih jauh lagi, dengan memberi tekanan berat kepada maha-luasnya
rahmat (kemurahan) Allah yang tak terhingga.
Berikut ini beberapa contoh yang
disebutkan dalam Al-Quran:
“Ia telah menetapkan rahmat atas diri-Nya” (6:12; 6:54).
“Tuhan kamu adalah Tuhannya rahmat yang maha-luas” (6:164).
“Dan kasih sayang-Ku meliputi segala sesuatu” (7:156).
“Kecuali orang yang Tuhan dikau berbelas kasih kepadanya; dan karena itulah Dia menciptakan mereka” (11:119).
“Wahai hamba-hambaku yang berbuat melebihi batas terhadap jiwanya, janganlah berputus asa akan kemurahan Allah; sesungguhnya Allah itu mengampuni semua dosa” (39:53).
“Tuhan kami! Engkau telah merangkum segala sesuatu dalam rahmat dan ilmu” (40:7).
“Ia telah menetapkan rahmat atas diri-Nya” (6:12; 6:54).
“Tuhan kamu adalah Tuhannya rahmat yang maha-luas” (6:164).
“Dan kasih sayang-Ku meliputi segala sesuatu” (7:156).
“Kecuali orang yang Tuhan dikau berbelas kasih kepadanya; dan karena itulah Dia menciptakan mereka” (11:119).
“Wahai hamba-hambaku yang berbuat melebihi batas terhadap jiwanya, janganlah berputus asa akan kemurahan Allah; sesungguhnya Allah itu mengampuni semua dosa” (39:53).
“Tuhan kami! Engkau telah merangkum segala sesuatu dalam rahmat dan ilmu” (40:7).
Rahmat Allah begitu besar, hingga
itu merangkum kaum mukmin dan kaum kafir, sebagaimana diuraikan dalam ayat
tersebut. Malahan para musuh Nabi Suci juga dikaruniai rahmat Allah. Al-Quran
berfirman: “Dan apabila Kami icipkan rahmat kepada manusia setelah mereka
ditimpa kemalangan, tiba-tiba mereka membuat rencana untuk menentang ayat-ayat
Kami” (10:21).
Berulangkali Al-Quran menerangkan bahwa jika kaum musyrik
ditimpa kemalangan, mereka menyeru kepada Allah, lalu Allah menyingkirkan
kemalangan mereka.
Gambaran sifat Allah yang dilukiskan
dalam Al-Quran dari awal hingga akhir, semuanya berupa cinta dan kasih; dan
sementara sifat kasih Allah diuraikan dengan berbagai nama dan diulangi beratus
kali, sifat Allah menimpakan siksaan – Yang menimpakan pembalasan – hanya
tercantum empat kali saja di seluruh Al-Quran (3:3; 5:95; 14:47; 39:37).
Memang
benar bahwa hukuman terhadap kejahatan merupakan pokok persoalan yang paling
ditekankan oleh Al-Quran, tetapi dalam hal ini tujuannya hanyalah untuk
menanamkan pengertian bahwa kejahatan paling dibenci oleh Allah dan harus dijauhi
oleh manusia; dan secara intensif Al-Quran bukan saja meletakkan tekanan pada
pemberian ganjaran terhadap perbuatan baik, melainkan melangkah lebih maju lagi
dan menytakan berulangkali bahwa kejahatan itu akan diampuni atau dijatuhi
hukuman yang setimpal dengan kejahatan itu sendiri. Sebaliknya, perbuatan baik
akan mendapat ganjaran lipat sepuluh, lipat seratus atau bahkan tak ada
batasnya. Tetapi disamping itu hendaklah diingat, bahwa menurut Al-Quran,
tujuan siksaan adalah untuk penyembuhan, dan sekali-kali bukan balas dendam;
siksaan adalah penyembuhan terhadap penyakit yang ditimbulkan oleh manusia
sendiri. Jadi dalam hal ini, sifat cinta kasihlah yang menonjol, karena tujuan
siksaan adalah untuk menyembuhkan penyakit agar manusia dapat berjalan menuju
ke arah kemajuan rohani.
Salah satu nama Allah yang oleh para
ulama akhir-akhir ini dimasukkan dalam asma’ul-husna sembilanpuluh sembilan,
sekalipun itu tak disebutkan dalam Al-Quran, ialah adl-Dlarr, atau yang
menyebabkan kemalangan; akan tetapi kemalangan ini hanyalah dalam arti
terbatas, yakni hukuman suatu kejahatan dengan tujuan untuk penyembuhan. Al-Quran
berfirman: “Dan Kami timpakan kepada mereka kemalangan dan kesengsaraan agar
mereka rendah hati” (6:42; 7:94).
Sifat-sifat Allah sebagai cita-cita luhur yang harus dicapai
Sebagaimana iman kepada Allah Yang
Maha-esa merupakan sumber peningkatan rohani mereka, dengan membuat mereka
sadar akan tingginya martabat manusia, dan mengilhami mereka dengan cita-cita
luhur, berupa penaklukkan alam dan persamaan derajat antara sesama manusia,
maka dari itu, sifat-sifat Allah yang diwahyukan dalam Al-Quran, itu sebenarnya
dimaksud untuk menyempurnakan karakter manusia.
Sebenarnya sifat-sifat Allah itu untuk
digunakan sebagai cita-cita luhur yang harus dicapai manusia. Allah adalah
Rabbul-’alamin, yang mengasuh dan memelihara sarwa sekalian alam; jika sifat
Allah ini digunakan sebagai cita-cita, maka orang harus bekerja keras untuk
melayani sesama manusia sebagai tujuan hidupnya, bahkan melayani makhluk yang tak
dapat bicara sekalipun.
Allah adalah Rahman, Yang memberi
segala kebutuhan manusia dan mempertontonkan kasih-sayang-Nya, sekalipun
manusia tak berbuat sesuatu yang pantas untuk mendapatkan kasih sayang itu;
manusia yang ingin mencapai kesempurnaan harus berbuat baik kepada sesama
manusia tanpa mengharap balasan atau keuntungan apa pun dari mereka.
Allah adalah Rahim, Yang membalas
setiap perbuatan baik berlipat-lipat; demikian pula orang harus membalas setiap
kebaikan yang ia terima dari orang lain.
Allah adalah Malik, Yang menghukum
perbuatan jahat bukan karena balas dendam atau untuk melaksanakan keadilan yang
tegar, melainkan hukuman yang dihayati dengan pengampunan bagaikan seorang
majikan yang memaafkan kesalahan pelayannya; maka dari itu jika orang ingin
mencapai kesempurnaan, ia harus banyak memberi maaf kepada orang lain.
Apa yang kami uraikan di atas adalah
empat sifat utama Allah, dan orang dapat melihat dengan mudah bagaimana
sifat-sifat itu digunakan sebagai cita-cita manusia. Demikian pula halnya
sifat-sifat Allah yang lain. Ambillah misalnya sifat Allah yang berhubungan
dengan cinta dan kasih, Allah adalah Kasih sayang (al-Ra’uf), Cinta kasih
(al-Wadud), Lembut hati (al-Latiif). Berulangkali kasih sayang-Nya (al-Tawwab),
Yang Maha-penyantun (al-Halim), Yang Maha-mengampuni (al-’Afuwwu), Yang
menggandakan ganjaran (al-Syakur), Yang menciptakan perdamaian (al-Salam). Yang
menganugerahkan keamanan (al-Mu’min), Yang Dermawan (al-Barru), Yang
meninggikan derajat (Rafi’ud-darojat), Yang melimpah-limpah pemberian-Nya
(al-Wasi’), Yang memberi rezeki (al-Razzaq) dan sebagainya, manusia juga harus
berusaha seperti itu. Selanjutnya, ambillah misalnya sifat Allah yang
berhubungan dengan ilmu. Allah adalah Yang Maha-tahu (al-’Alim), Yang
Maha-bijaksana (al-Hakim), Yang Maha-waspada (al-Khobir), Yang maha-melihat
(al-Bashir), Yang Maha-mengawasi (al-Haqib), Yang Maha-tahu akan segala sesuatu
yang tersembunyi (al-Bathin), manusia juga harus berusaha untuk menyempurnakan
ilmunya dan mendapat hikmah.
Sebenarnya, di mana manusia
dikatakan sebagai khalifah Allah (2:30), maka ciri utama yang membuat mereka
terkemuka sebagai orang yang dapat memerintah sekalian makhluk ialah,
pengetahuan mereka akan segala sesuatu (2:31). Adapun mengenai hikmah, ini
diuraikan dalam Al-Quran bahwa Nabi Muhammad saw itu dibangkitkan untuk
mengajarkan Kitab dan Hikmah (2:151; 3:163; 62:2).
Selanjutnya, ambillah
misalnya sifat Allah yang berhubungan dengan kekuatan, kebesaran, dan
penguasaan atas segala sesuatu, sampai-sampai malaikat pun disuruh bersujud
kepada manusia; ini menunjukkan bahwa manusia ditakdirkan supaya menguasai
sekalian makhluk hingga malaikat.
Malahan dalam Al-Quran diterangkan
berulangkali, bahwa apa saja yang ada di langit maupun di bumi, semuanya dibuat
untuk melayani manusia. Memang benar, bahwa kecintaan manusia, kasih-sayangnya,
ilmunya, kebijaksanaannya dan kekuasaannya atas segala sesuatu bukan apa-apa
jika dibandingkan dengan Allah, akan tetapi betapapun tak sempurnanya segala
sesuatu yang dicapai manusia, kenyataan menunjukkan bahwa manusia
mencita-citakan akhlak Tuhan sebagai tujuan hidupnya, yang ini manusia harus
berusaha untuk mencontohnya.
Sumber: Islamologi, (The Religion of
Islam) oleh Maulana Muhammad Ali MA LLB,
Penerbit, Darul Kutubil Islamiyah, Jakarta