Rabu, 05 September 2012

Ma'rifatullah: Mengenal Allah Sebagaimana Dia Memperkenalkan Diri-Nya


Ma’rifatullah: Mengenal Allah sebagaimana Dia Memperkenalkan Diri-Nya
“Sesungguhnya, Aku Allah ; tiada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku, dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku; (20:14)
Memahami Tabi’at Allah
Sebelum kami membicarakan sifat-sifat Allah, perlu kami mengingatkan para pembaca tentang adanya salah paham mengenai Tabi’at Tuhan. Dalam Al-Quran, Allah dikatakan sebagai Yang melihat, mendengar, berbicara, marah, mencintai, penuh kasih sayang, menguasai, mengawasi dan sebagainya. Tetapi digunakannya sifat-sifat itu janganlah diartikan bahwa Allah itu seperti manusia, karena dalam Al-Quran diuraikan seterang-terangnya bahwa Allah adalah di atas segala paham kebendaan. Al-Quran berfirman: “Penglihatan tak dapat menjangkau Dia, dan Dia menjangkau semua penglihatan” (6:104). Dan Allah bukan saja di atas batas-batas kebendaan, melainkan pula di atas batas-batas pepindan (metaphor). Al-Quran berfirman: “Tak ada sesuatu pun yang menyerupai Dia” (42:11).

 Untuk menyatakan kecintaan Allah, kekuasaan-Nya, ilmu-Nya dan sifat-sifat-Nya yang lain, memang harus digunakan kata seperti itu yang biasa digunakan sehari-hari, namun pengertian kata-kata itu sangatlah berlainan. Jika dikatakan Allah melihat, ini tidaklah berarti Allah melihat dengan mata seperti kita yang membutuhkan cahaya untuk melihat sesuatu seperti kita. Atau jika dikatakan Allah mendengar, ini tidaklah berarti Allah mempunyai telinga seperti kita, atau membutuhkan udara atau sarana lain agar suara dapat didengar oleh-Nya. Atau apabila dikatakan Allah menciptakan atau membuat sesuatu, ini tidaklah berarti Allah mempunyai tangan seperti kita, atau ia membutuhkan bahan untuk membuat sesuatu.

Demikian pula cinta, perkenan, marah, dan kasih sayang Allah, semuanya tak tergantung kepada anggota badan seperti manusia. Sekalipun di dalam Al-Quran terdapat ayat yang menerangkan “tangan Allah” (5:64), tetapi ini hanyalah untuk menyatakan tak terbatasnya kekuasan Allah dalam menganugrahkan nikmat-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Kata yad yang artinya tangan, ini digunakan pula secara kiasan dalam arti nikmat (ni’mah), atau perlindungan (hifazhah). Demikianlah dalam 2:237 tercantum kalimat yang berbunyi: “orang yang tali pernikahan ada di tangannya”, dimana kata yad/tangan di sini digunakan dalam arti kiasan.
Dalam kitab Nihayah diterangkan bahwa kata yad berarti hifzun (perlindungan), dan difa’ (pembelaan), dan untuk memperkuat itu, dikutipnya satu Hadits tentang Ya’juj wa Ma’juj yang berbunyi: la yadani li ahadin liqitalihim, artinya, tak seorang pun mempunyai kekuatan (yadani, makna aslinya dua tangan) untuk memerangi mereka.Oleh sebab itu, menurut idium bahasa Arab, kata yadullah (tangan Allah) dalam 5:64, berarti nikmat Allah.

Salah paham lain lagi, bahkan salah paham besar, ialah mengenai arti kata al-kasyfu ‘anis-saqi. Kesalahan itu tiada lain hanyalah karena tak tahu akan idium bahasa Arab, hingga kata-kata itu diterjemahkan tersingkap betisnya. Kata-kata itu tercantum dua kali dalam Al-Quran, pertama, sehubungan dengan Ratu Sheba (27:44), dan yang kedua, dalam bentuk passif, tanpa disebutkan sasarannya (68:42). Kata-kata itu tak pernah digunakan sehubungan dengan Allah. Kata saqun yang artinya betis itu, jika digunakan dalam ungkapan al-kasyfu ‘anis-saqi, artinya berlainan sekali, kata dalam hal ini kata saqun berarti kesukaran atau kesusahan. Jadi, kata al-kasyifu ‘anis-saqi artinya bersiap-siap untuk menghadapi kesukaran atau keluar dari kesusahan (TA., LL.).

‘Arsy Allah

Al-Quran menguraikan ‘Arsy atau Singgasana Allah, tetapi ‘Arasy itu bukanlah tempat, melainkan gambaran tentang penguasaan Allah atas segala sesuatu, sebagaimana singgasana raja melambangkan kekuasaan raja untuk memerintah. ‘Arsy Allah adalah salah satu di antara segala sesuatu yang manusia tak tahu akan hakikatnya kecuali hanya namanya saja, dan itu tidaklah seperti yang terbayang dalam pikiran orang awam … Dan ‘Arsy mengandung arti kekuasaan atau kekuatan dan pemerintahan (R).

 Istawa ‘alal-arsy adalah bentuk kalimat yang berulang-ulang dicantumkan dalam Al-Quran sehubungan dengan kata ‘Arsy, dan kalimat itu selalu dicantumkan sesudah uraian Al-Quran tentang terciptanya langit dan bumi, dan bertalian dengan pengawasan Allah terhadap makhluk-Nya, dan bertalian pula dengan undang-undang dan aturan, yang dengan undang-undang itu seluruh alam semesta ditundukkan oleh Penguasa Yang Maha-tinggi.

Kata istawa jika diikuti dengan kata ‘ala ini berarti Dia mempunyai kekuasaan atas sesuatu, atau mempunyai wibawa terhadap itu (R). Dalam Al-Quran tak ada ayat yang menerangkan bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arsy; hanya kekuasaan Allah sajalah yang selalu diuraikan bertalian dengan ‘Arsy itu.

Salah paham lain lagi ialah mengenai kata kursiyy (makna aslinya kursi) yang oleh sebagian ulama dikira kursi sungguh-sungguh, padahal menurut ulama lain, yakni sahabat Ibnu ‘Abbas, beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud kursiyy ialah ilmu atau pengetahuan (Bal. 2:255). Bahkan menurut para ahli kamus bahasa Arab, kata kursiyy dalam ayat itu berarti ilmu Allah atau kerajaan Allah (R). Oleh karena itu, yang dimaksud kursiyy dan ‘Arsy hanyalah ilmu dan kekuasaan Allah.

Nama-Nama Tuhan

Allah adalah nama Tuhan (Ismu dzat), untuk membedakan dari nama yang lain yang disebut asma’us-shifat atau nama yang menunjukkan sifat. Kata Allah juga disebut ismu a’zam atau nama yang amat mulia. Oleh karena kata Allah itu nama, maka tak mempunyai arti. Tetapi oleh karena kata Allah itu nama Dzat Tuhan maka itu mencakup segala sifat yang diuraikan tersendiri berupa asma’ul-husna atau nama-nama yang indah. Oleh sebab itu, nama Allah dikatakan sebagai nama yang menghimpun segala sifat Allah yang sempurna. Oleh karena kata Allah itu nama, maka itu jamid, artinya, tak digubah dari perkataan lain. Kata Allah tak ada sangkut pautnya dengan kata ilah (dewa atau pujaan), yang kata ini berasal dari akar kata aliha artinya tahayyara atau ta’ajub; atau digubah dari kata wilahdari akar kata waliha, artinya tergila-gila.

Kadang-kadang ada yang mengatakan bahwa kata Allah itu kependekan dari kata al-ilah, tetapi pendapat itu keliru, karena jika al dari kata Allah itu suatu awalan, maka bentuk kalimat ya Allah itu tak dibenarkan, seperti tak dibenarkannya bentuk kalimat ya al-ilah atau ya ar-Rahman; padahal bentuk kalimat ya Allah itu sudah benar. Selain itu, dugaan tersebut mengandung arti, bahwa pada zaman dahulu ada bermacam-macam dewa (alihah) jamaknya dari kata ilah.Di antara para dewa itu ada satu yang lambat laun dikenal dengan nama al-ilah, lalu dipendekkan menjadi Allah. Ini adalah bertentangan dengan kenyataan, karena kata Allah itu selalu menjadi nama “Dzat Yang Hidup Kekal” (DI). Dan menurut para ahli kamus bahasa Arab, kata Allah tak pernah digunakan untuk menamakan siapa pun selain Tuhan. Bangsa Arab mempunyai banyak ilah atau pujaan, tetapi tak ada satu pun yang pernah diberi nama Allah; sedang Yang Maha-tinggi yang disebut Allah, diakui oleh bangsa Arab sebagai Pencipta alam semesta, jauh lebih tinggi dari pujaan mereka (29:61), dan tak pernah ada dewa lain, betapa pun besarnya dewa tersebut, dianggap sebagai Pencipta alam semesta.

Empat sifat utama Allah

Di antara sifat-sifat Allah yang tercantum di dalam Al-Quran, ada empat yang paling menonjol, dan empat sifat itu tepat sekali disebutkan dalam Surat al-Fatihah atau Surat Pembukaan, yang, baik menurut ijma maupun Hadits, merupakan inti Al-Quran. Surat al-Fatihah diawali dengan nama Allah, lalu diikuti dengan sifat yang paling mulia di antara sifat-sifat Tuhan, yakni Rabb, yang karena tak adanya terjemahan yang paling tepat, maka Rabb ini biasa diterjemahkan dengan arti Tuhan saja. Menurut ahli kamus Al-Quran kenamaan, arti kata Rabb ialah Yang memelihara sesuatu demikian rupa, melalui tingkatan yang satu lepas tingkatan yang lain, hingga itu mencapai tujuan yang sempurna (R). 

Oleh karena itu, Rabb berarti Tuhan Yang membimbing segala sesuatu di alam semesta ini menuju tujuan kesempurnaan melalui berbagai tingkat perkembangan;  dan oleh karena tingkat perkembangan itu meliputi dari yang serendah-rendahnya hingga setinggi-tingginya, yang jika kembali ke belakang dan terus ke belakang lagi, maka kita menjadi tak ada artinya samasekali, jadi terang sekali bahwa kata Rabb mengandung arti Dzat Yang membimbing ke arah kesempurnaan, karenanya Rabb sifat Tuhan yang paling utama; oleh sebab itu, semua do’a itu biasanya ditujukan kepada Rabb, dan tiap-tiap do’a selalu diawali dengan kata Rabbanaa artinya Wahai Tuhan kami8.  Sungguh tepat sekali bahwa Al-Quran memberi tempat istimewa kepada sifat Rabb yang ditempatkan sesudah nama Allah.

Susunan yang diambil oleh Al-Quran dalam menguraikan sifat-sifat Allah sangat ilmiah sekali. Nama Allah disebutkan pertama kali dalam Surat al-Fatihah, lalu disusul dengan Rabb, yaitu sifat Allah yang amat penting. Pentingnya dua nama itu dapat dibuktikan dengan adanya kenyataan bahwa dalam Al-Quran dicantumkan nama Allah sebanyak 2.800 kali, sedang nama Rabb, sebanyak 960 kali. Tak ada nama Tuhan lainnya yang begitu kerap disebutkan dalam Al-Quran.

Nama penting lainnya yang begitu kerap disebutkan dalam Al-Quran ialah Rahman, Rahim, dan Malik, yang dalam Surat al-Fatihah diletakkan sesudah Rabb. Sebenarnya, tiga nama ini menunjukkan bagaimana sifat rububiyyah Allah dilaksanakan. Kata Rahman dan Rahim berasal dari akar kata yang sama, yaitu rahmah, yang artinya, kelembutan hati yang menuntut pemberian kasih sayang kepada orang atau sesuatu yang disayangi; jadi ini mencakup pengertian cinta dan kasih. Kata rahman digubah dari wazan fa’lan, menunjukkan melimpah-limpahnya rahmah pada Allah, dan kata rahim digubah dari wazan fa’il yang menunjukkan berulang-ulangnya rahmah itu. Mengingat perbedaan itu, maka rahman mengandung arti bahwa cinta dan kasih Allah begitu melimpah hingga Allah menganugerahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada manusia sekalipun mereka tak berbuat sesuatu yang menyebabkan mereka pantas menerima rahmat itu. Pemberian segala kebutuhan hidup untuk mengembangkan jasmani mereka, ini semata-mata berkat adanya cinta-kasih Allah yang tak terhingga. Kemudian menyusul suatu tingkatan, dimana manusia memanfaatkan bahan-bahan pemberian Allah (rahmaniah Allah) dan digunakan untuk mengembangkan jasmani dan rohaninya. Pada tingkatan inilah muncul sifat Allah yang nomor tiga, yaitu rahim, yang melalui sifat ini Allah mengganjar setiap perbuatan baik dan benar yang dilakukan manusia, dan selama manusia tak henti-hentinya melakukan itu, maka kasih-sayang Allah yang dipertontonkan melalui sifat Rahim juga akan terus bekerja. Sifat rahimiyah ini terus bekerja dalam perkembangan jasmani maupun rohani manusia.

 Diriwayatkan bahwa Nabi Suci bersabda: “Ar-Rahman ialah Tuhan Yang Maha-pemurah, Yang cinta-kasih-Nya diwujudkan di alam dunia ini, dan Rahim ialah Tuhan Yang Maha-pengasih Yang cinta-kasih-Nya diwujudkan pada hari kemudian” (BM. I, hal. 17).

Tetapi untuk membimbing sekalian makhluk menuju ke arah kesempurnaan masih diperlukan adanya sifat Allah yang lain. Sebagaimana ketaatan kepada undang-undang menyebabkan kemajuan manusia dan mendatangkan ganjaran, demikian pula pelanggaran terhadap undang-undang akan menyebabkan terhambatnya kemajuan dan mendatangkan siksaan. Sebenarnya menghukum orang yang salah, itu menurut ketetapan Tuhan sama perlunya dengan mengganjar manusia yang berbuat baik, dan hukuman itu sebenarnya hanya suatu tingkatan dari pelaksanaan sifat Rububiyah, karena tujuan terakhir adalah demi kebaikan manusia itu sendiri. 

Oleh karena itu, sebagaimana sifat rahim itu diperlukan untuk mengganjar orang yang berbuat baik atau taat kepada undang-undang, maka amat diperlukan sifat yang lain untuk menghukum orang yang berbuat jahat. Itulah sebabnya mengapa dalam Surat al-Fatihah, sifat rahim diikuti oleh sifat maliki yaumiddin atau Yang Memiliki hari pembalasan.

Penggunaan kata malik (maknanya Pemilik) sehubungan dengan hukuman terhadap perbuatan jahat ini mempunyai arti yang dalam, karena biasanya, untuk menentukan hukuman terhadap suatu kejahatan, orang harus menantikan keputusan hakim. Adapun perbedaan penting antara hakim dan pemilik ialah, hakim harus menjalankan keadilan dan harus menghukum setiap kejahatan yang dilakukan oleh penjahat, sedangkan pemilik, ia boleh berbuat sesukanya, ia boleh menghukum si penjahat, dan boleh pula mengampuninya, bahkan boleh pula membiarkan dia menjalankan kejahatan yang lebih besar lagi 9.

Pengertian ini dikembangkan sepenuhnya dalam Al-Quran yang menerangkan berulangkali bahwa perbuatan baik mendapat ganjaran lipat sepuluh atau bahkan lebih, tetapi perbuatan jahat hanya mendapat hukuman setimpal atau bahkan diampuni. Dalam Al-Quran diuraikan, bahwa kasih-sayang Allah begitu besar, hingga “Dia mengampuni semua dosa” (39:53). Oleh sebab itu, diketengahkannya sifat Malik adalah untuk menghubungkan antara hukuman dan pengampunan, dan itulah sebabnya mengapa diletakkan dalam urutan sifat yang penting, sifat Malik diletakkan sesudah sifat Rahim dalam Surat al-FAtihah, sedang dalam seluruh Al-Quran, sifat Ghafur atau Yang maha-pengampun menempati kedudukan yang penting. Dua sifat pertama, rahman dan rahim dengan segala bentuk kata kerjanya, tercantum sebanyak 580 kali, dan sifat ghafur yang frekwensinya di bawah sifat rahman dan rahim dengan segala kata kerjanya, tercantum sebanyak 230 kali. Oleh sebab itu terang sekali bahwa Al-Quran memberi tempat utama kepada sifat kasih-sayang Allah yang tak ada taranya, yang tidak pernah dijumpai dalam Kitab Suci yang lain di manapun.

Sembilan puluh sembilan Al-Asma’ul-Husna

Menilik penjelasan yang telah kami berikan tentang empat sifat utama, Rabb, Rahman Rahim dan Malik, dan menilik frekwensi dicantumkannya empat sifat itu dalam Al-Quran yang tak dapat ditandingi oleh lain-lain sifat, dan menilik disebutkannya empat sifat itu dalam Surat al-Fatihah, terang sekali bahwa Al-Quran memandang empat sifat itu sebagai sifat Allah yang paling utama, dan sifat Allah selebihnya hanyalah merupakan cabang dari empat sifat utama itu.

Berdasarkan Hadits yang diriwayatkan sahabat Abu Hurairah, yang Hadits itu dianggap gharib (lemah) oleh Imam Thirmidhi, diterangkan sembilanpuluh sembilan nama Tuhan; jika ini ditambah dengan nama Allah, maka genaplah menjadi seratus. Nama-nama itu sebagian dimuat dalam Al-Quran, sedang sebagian lagi hanya berupa penarikan kesimpulan dari beberapa perbuatan Allah yang diuraikan dalam Al-Quran. Tetapi tak ada satu dalil pun yang menganjurkan supaya orang menghitung nama-nama itu dengan tasbih atau dengan cara apa pun. Baik Nabi Suci maupun para sahabat tak ada yang pernah menggunakan tasbih.
Al-Quran berfirman: “Dan nama-nama yang amat mulia (asma’ul-husna) adalah kepunyaan Allah, maka menyerulah kepada-Nya dengan nama-nama itu, dan tinggalkanlah orang yang merusak kesucian nama-Nya” (7:180). Hubungan ayat ini dengan ayat sebelum dan sesudahnya menunjukkan, bahwa menyeru kepada Allah dengan nama-nama-Nya (asma’ul-husna), hanya berarti bahwa segala sifat yang merendahkan martabat Allah yang tinggi, tak boleh disifatkan kepada-Nya, karena dalam bagian kedua ayat tersebut diterangkan bahwa orang yang merusak kesucian nama Allah diberi peringatan keras 10;  adapun merusak kesucian nama Allah itu diterangkan sejelas-jelasnya bahwa yang dimaksud ialah, mengakukan kepada Allah sifat-sifat yang tak sesuai dengan martabat-Nya yang tinggi, atau mengakukan sifat-sifat Allah kepada selain Allah.

Oleh sebab itu, menyeru kepada Allah dengan asma’ul-husna berarti, sifat-sifat Allah yang luhur harus diakukan kepada Allah saja. Adapun nama-nama Allah (asma’ul-husna) yang disebutkan dalam Al-Quran adalah sebagai berikut:

1. Nama yang berhubungan dengan Allah ialah, al-Wahid atau Ahad (Yang Maha-esa), al-Haqq (Yang Maha-benar), al-Quddus (Yang Maha-suci), al-Shamad (Yang segala sesuatu bergantung kepada-Nya) sedang Dia sendiri tak bergantung kepada siapa pun), al-Ghani (Yang Maha-cukup sendiri), al-Awwal (Yang paling awal), al-Akhir (Yang paling akhir), al-Hayyu (Yang hidup kekal), al-Qayyum (Yang maujud sendiri).

2. Nama yang berhubungan dengan makhluk Allah ialah, al-Khaliq (Yang menciptakan), al-Bari (Yang menciptakan ruh), al-Mushawwir (Yang membentuk), al-Badi’ (Yang menciptakan pertama kali).

3. Nama yang berhubungan dengan sifat cinta kasih Allah
(selain sifat Rabb, Rahman dan Rahim) ialah al-Rauf (Yang Maha-kasih dan sayang), al-Wadud (Yang penuh cinta-kasih), al-Lathif (Yang lembut hati), al-Tawwab (Yang berulang-ulang kasih sayang-Nya), al-Halim (Yang Maha penyantun), al-’Afuwwu (Yang Maha-mengampuni), al-Syakur (Yang melipatkan ganjaran), al-Salam (Pencipta perdamaian), al-Mu’min (Yang menganugrahkan keamanan), al-Barru (Yang dermawan), Rafi’ud-Darajat (Yang meningkatkan derajat), al-Razzaq (Pemberi rezeki), al-Wahhab (Yang Maha-memberi) al-Wasi’ (Yang melimpah pemberian-Nya).

4. Nama yang berhubungan dengan keagungan dan kemuliaan Allah ialah: al-’Adzim (Yang Maha-agung), al-’Aziz (Yang Maha-perkasa), al-’Aliyyu atau Muta’al (Yang Maha-luhur), al-Qawiyyu (Yang Maha-kuat), al-Qahhar (Yang Maha-unggul), al-Jabbar (Yang memperbaiki segala sesuatu dengan kekuatan yang luar biasa) 11,  al-Mutakabbir (Yang memiliki kebesaran), al-Kabir (Yang Maha-besar), al-Karim (Yang Maha-mulia), al-Hamid (Yang Maha-terpuji), al-Majid (Yang Maha-jaya), al-Matin (Yang Maha-kuat), azh-Zhahir (Yang menang), Dhul-Jalali wal-Ikram (Yang mempunyai keagungan dan kemuliaan).

5. Nama yang berhubungan dengan ilmu Allah ialah: al-’Alim (Yang Maha-tahu), al-Hakim (Yang Maha-bijaksana), as-Sami’ (Yang Maha-mendengar), al-Khabir (Yang Maha-waspada), al-Bashir (Yang Maha-melihat), asy-Syahid (Yang Maha-menyaksikan), ar-Raqib (Yang Maha-mengawasi), al-Bathin (Yang Maha-tahu segala sesuatu yang tersembunyi), al-Muhaimin (Yang menjaga semuanya).

6. Nama yang berhubungan dengan penguasaan Allah terhadap makhluk ialah: al-Qadir atau Muqtadir (Yang Maha-kuasa), al-Wakil (Yang mengurus segala sesuatu), al-Waliyyu (Yang melindungi), al-Hafizh (Yang memalihara) al-Maalik (Raja), al-Malik (Yang memiliki), al-Fattah (Yang memutus perkara), al-Haasib atau al-Hasiib (Yang menghitung), al-Muntaqim atau Dhun tiqam (Yang menimpa-kan pembalasan), al-Muqith (Yang menguasai segala sesuatu).

7. Nama Tuhan yang diambil dari beberapa perbuatan atau sifat Tuhan yang disebutkan dalam Al-Quran ialah: al-Qabidlu (Yang menyempitkan), al-Basithu (Yang melapangkan), al-Rafi’u (Yang meninggikan), al-Muizzu (Yang membri kehormatan), al-Mudhillu (Yang mendatangkan kehinaan), al-Mujib (Yang mengabulkan do’a). al-Baits (Yang membangkitkan dari kubur), al-Muhsyi (Yang mencatat segala sesuatu), al-Mubdi (Yang memulai), al-Mu’id (Yang mengulangi), al-Muhyi (Yang memberi hidup), al-Mumit (Yang menyebabkan mati), Malikul-Mulk (Yang memiliki kerajaan), al-Jami (Yang menghimpun), al-Mughni (Yang memperkaya), al-Mu’thi (Yang memberi), al-Mani’ (Yang menahan atau mencegah), al-Hadi (Yang memberi petunjuk), al-Baqi (Yang kekal), al-Warits (Yang mewariskn segala sesuatu).
Adapun sisa dari sembilanpuluh sembilan asma’ul-husna ialah, an-Nur (Cahaya); sebenarnya ini bukan nama Allah, Allah disebut Nur dalam arti Yang memberi cahaya (24:35); ash-Shabur (Yang Maha-sabar), ar-Rasyid (Yang menunjukkan), al-Muqsith (Yang tak berat sebelah), al-Wali (Yang memerintah), al-Jalil (Yang penuh kebesaran), al-’Adlu (Yang Maha-adil), al-Khafidlu (Yang memelihara), al-Wajid (Yang maujud), al-Muqaddim (Yang terdahulu), al-Mu’akhkhir (Yang terakhir), adl-Dlarr (Yang mendatangkan kemalangan), an-Nafi’u (Yang memberi faedah). Masih ada dua sifat Allah yang termasuk golongan ini yang akan kami bahas nanti, mengingat dua sifat ini memerlukan pembahasan yang terperinci; dua sifat itu ialah yang berhubungan dengan kalam (firman) dan iradah (kehendak).

Sifat cinta kasih Allah lebih menonjol

Terang sekali bahwa sifat Allah di atas tak ada sangkut-pautnya dengan autokrasi, tak mengenal ampun, dendam, dan kejam, yang biasa disangkut pautkan oleh kebanyakan penulis Eropa dengan gambaran Allah yang dilukiskan dalam Al-Quran. Sebaliknya, sifat cinta kasihlah yang dalam Al-Quran lebih ditonjolkan daripada dalam Kitab Suci yang lain. Bukan saja setiap Surat diawali dengan dua sifat Rahman dan Rahim, yang ini menujukkan bahwa cinta kasih Allah itu amat menonjol, melainkan Al-Quran melangkah lebih jauh lagi, dengan memberi tekanan berat kepada maha-luasnya rahmat (kemurahan) Allah yang tak terhingga. 

Berikut ini beberapa contoh yang disebutkan dalam Al-Quran:
“Ia telah menetapkan rahmat atas diri-Nya” (6:12; 6:54).
“Tuhan kamu adalah Tuhannya rahmat yang maha-luas” (6:164).
“Dan kasih sayang-Ku meliputi segala sesuatu” (7:156).
“Kecuali orang yang Tuhan dikau berbelas kasih kepadanya; dan karena itulah Dia menciptakan mereka” (11:119).
“Wahai hamba-hambaku yang berbuat melebihi batas terhadap jiwanya, janganlah berputus asa akan kemurahan Allah; sesungguhnya Allah itu mengampuni semua dosa” (39:53).
“Tuhan kami! Engkau telah merangkum segala sesuatu dalam rahmat dan ilmu” (40:7).
Rahmat Allah begitu besar, hingga itu merangkum kaum mukmin dan kaum kafir, sebagaimana diuraikan dalam ayat tersebut. Malahan para musuh Nabi Suci juga dikaruniai rahmat Allah. Al-Quran berfirman: “Dan apabila Kami icipkan rahmat kepada manusia setelah mereka ditimpa kemalangan, tiba-tiba mereka membuat rencana untuk menentang ayat-ayat Kami” (10:21). 

Berulangkali Al-Quran menerangkan bahwa jika kaum musyrik ditimpa kemalangan, mereka menyeru kepada Allah, lalu Allah menyingkirkan kemalangan mereka.

Gambaran sifat Allah yang dilukiskan dalam Al-Quran dari awal hingga akhir, semuanya berupa cinta dan kasih; dan sementara sifat kasih Allah diuraikan dengan berbagai nama dan diulangi beratus kali, sifat Allah menimpakan siksaan – Yang menimpakan pembalasan – hanya tercantum empat kali saja di seluruh Al-Quran (3:3; 5:95; 14:47; 39:37). 

Memang benar bahwa hukuman terhadap kejahatan merupakan pokok persoalan yang paling ditekankan oleh Al-Quran, tetapi dalam hal ini tujuannya hanyalah untuk menanamkan pengertian bahwa kejahatan paling dibenci oleh Allah dan harus dijauhi oleh manusia; dan secara intensif Al-Quran bukan saja meletakkan tekanan pada pemberian ganjaran terhadap perbuatan baik, melainkan melangkah lebih maju lagi dan menytakan berulangkali bahwa kejahatan itu akan diampuni atau dijatuhi hukuman yang setimpal dengan kejahatan itu sendiri. Sebaliknya, perbuatan baik akan mendapat ganjaran lipat sepuluh, lipat seratus atau bahkan tak ada batasnya. Tetapi disamping itu hendaklah diingat, bahwa menurut Al-Quran, tujuan siksaan adalah untuk penyembuhan, dan sekali-kali bukan balas dendam; siksaan adalah penyembuhan terhadap penyakit yang ditimbulkan oleh manusia sendiri. Jadi dalam hal ini, sifat cinta kasihlah yang menonjol, karena tujuan siksaan adalah untuk menyembuhkan penyakit agar manusia dapat berjalan menuju ke arah kemajuan rohani.

Salah satu nama Allah yang oleh para ulama akhir-akhir ini dimasukkan dalam asma’ul-husna sembilanpuluh sembilan, sekalipun itu tak disebutkan dalam Al-Quran, ialah adl-Dlarr, atau yang menyebabkan kemalangan; akan tetapi kemalangan ini hanyalah dalam arti terbatas, yakni hukuman suatu kejahatan dengan tujuan untuk penyembuhan. Al-Quran berfirman: “Dan Kami timpakan kepada mereka kemalangan dan kesengsaraan agar mereka rendah hati” (6:42; 7:94).

Sifat-sifat Allah sebagai cita-cita luhur yang harus dicapai

Sebagaimana iman kepada Allah Yang Maha-esa merupakan sumber peningkatan rohani mereka, dengan membuat mereka sadar akan tingginya martabat manusia, dan mengilhami mereka dengan cita-cita luhur, berupa penaklukkan alam dan persamaan derajat antara sesama manusia, maka dari itu, sifat-sifat Allah yang diwahyukan dalam Al-Quran, itu sebenarnya dimaksud untuk menyempurnakan karakter manusia.
 Sebenarnya sifat-sifat Allah itu untuk digunakan sebagai cita-cita luhur yang harus dicapai manusia. Allah adalah Rabbul-’alamin, yang mengasuh dan memelihara sarwa sekalian alam; jika sifat Allah ini digunakan sebagai cita-cita, maka orang harus bekerja keras untuk melayani sesama manusia sebagai tujuan hidupnya, bahkan melayani makhluk yang tak dapat bicara sekalipun.

Allah adalah Rahman, Yang memberi segala kebutuhan manusia dan mempertontonkan kasih-sayang-Nya, sekalipun manusia tak berbuat sesuatu yang pantas untuk mendapatkan kasih sayang itu; manusia yang ingin mencapai kesempurnaan harus berbuat baik kepada sesama manusia tanpa mengharap balasan atau keuntungan apa pun dari mereka.

Allah adalah Rahim, Yang membalas setiap perbuatan baik berlipat-lipat; demikian pula orang harus membalas setiap kebaikan yang ia terima dari orang lain.
Allah adalah Malik, Yang menghukum perbuatan jahat bukan karena balas dendam atau untuk melaksanakan keadilan yang tegar, melainkan hukuman yang dihayati dengan pengampunan bagaikan seorang majikan yang memaafkan kesalahan pelayannya; maka dari itu jika orang ingin mencapai kesempurnaan, ia harus banyak memberi maaf kepada orang lain.

Apa yang kami uraikan di atas adalah empat sifat utama Allah, dan orang dapat melihat dengan mudah bagaimana sifat-sifat itu digunakan sebagai cita-cita manusia. Demikian pula halnya sifat-sifat Allah yang lain. Ambillah misalnya sifat Allah yang berhubungan dengan cinta dan kasih, Allah adalah Kasih sayang (al-Ra’uf), Cinta kasih (al-Wadud), Lembut hati (al-Latiif). Berulangkali kasih sayang-Nya (al-Tawwab), Yang Maha-penyantun (al-Halim), Yang Maha-mengampuni (al-’Afuwwu), Yang menggandakan ganjaran (al-Syakur), Yang menciptakan perdamaian (al-Salam). Yang menganugerahkan keamanan (al-Mu’min), Yang Dermawan (al-Barru), Yang meninggikan derajat (Rafi’ud-darojat), Yang melimpah-limpah pemberian-Nya (al-Wasi’), Yang memberi rezeki (al-Razzaq) dan sebagainya, manusia juga harus berusaha seperti itu. Selanjutnya, ambillah misalnya sifat Allah yang berhubungan dengan ilmu. Allah adalah Yang Maha-tahu (al-’Alim), Yang Maha-bijaksana (al-Hakim), Yang Maha-waspada (al-Khobir), Yang maha-melihat (al-Bashir), Yang Maha-mengawasi (al-Haqib), Yang Maha-tahu akan segala sesuatu yang tersembunyi (al-Bathin), manusia juga harus berusaha untuk menyempurnakan ilmunya dan mendapat hikmah.

Sebenarnya, di mana manusia dikatakan sebagai khalifah Allah (2:30), maka ciri utama yang membuat mereka terkemuka sebagai orang yang dapat memerintah sekalian makhluk ialah, pengetahuan mereka akan segala sesuatu (2:31). Adapun mengenai hikmah, ini diuraikan dalam Al-Quran bahwa Nabi Muhammad saw itu dibangkitkan untuk mengajarkan Kitab dan Hikmah (2:151; 3:163; 62:2).

Selanjutnya, ambillah misalnya sifat Allah yang berhubungan dengan kekuatan, kebesaran, dan penguasaan atas segala sesuatu, sampai-sampai malaikat pun disuruh bersujud kepada manusia; ini menunjukkan bahwa manusia ditakdirkan supaya menguasai sekalian makhluk hingga malaikat. 

Malahan dalam Al-Quran diterangkan berulangkali, bahwa apa saja yang ada di langit maupun di bumi, semuanya dibuat untuk melayani manusia. Memang benar, bahwa kecintaan manusia, kasih-sayangnya, ilmunya, kebijaksanaannya dan kekuasaannya atas segala sesuatu bukan apa-apa jika dibandingkan dengan Allah, akan tetapi betapapun tak sempurnanya segala sesuatu yang dicapai manusia, kenyataan menunjukkan bahwa manusia mencita-citakan akhlak Tuhan sebagai tujuan hidupnya, yang ini manusia harus berusaha untuk mencontohnya.

Sumber: Islamologi, (The Religion of Islam) oleh  Maulana Muhammad Ali MA LLB,
Penerbit, Darul Kutubil Islamiyah, Jakarta