Selasa, 28 April 2020

NABI TERMULIA BUKAN NABI TERAKHIR

Latar belakang turunnya ayat KHATAMAN NABIYYIIN

Bagaimana sesungguhnya hubungan antara khaataman-nabiyyiin dengan kalimat “Muhammad bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu?”

Jika dibaca ayat-ayat sebelumnya dalam Surah al-Ahzab ini, dapat diketahui bahwa diberikannya gelar khaataman-nabiyyiin kepada Nabi Muhammad s.a.w. adalah dalam konteks pembelaan Allah Ta’ala terhadap Rasulullah s.a.w. berkaitan dengan pernikahan beliau dengan Siti Zainab r.a., seorang bekas menantu dan janda dari Zaid ibn Harits r.a. (Zaid adalah anak angkat Nabi s.a.w.).

Pada waktu itu orang-orang Arab mencerca habis-habisan karena beliau s.a.w. dianggap telah melanggar tradisi dengan menikahi bekas menantunya sendiri, dan para kritikus serta ulama yang punya pikiran kotor mengatakan bahwa Nabi s.a.w. telah memerintahkan menceraikan perkawinan Zaid dan Zainab karena secara diam-diam Nabi s.a.w. memang telah jatuh cinta kepada menantunya.

Dengan adanya ayat tersebut, Allah Ta’ala menegaskan bahwa *Rasul Allah ini adalah khaataman-nabiyyiin, yang mempunyai ahlak yang setinggi-tingginya di antara semua manusia dan para nabi, beliau adalah Nabi yang paling afdhal, paling mulia, paling sempurna, nabi yang khaatam dalam segala kebaikan sebagai manusia dan nabi Allah.*

Hz. Zaid r.a. statusnya hanyalah sebagai anak angkat dan dipelihara oleh Nabi s.a.w. Dahulu ia adalah seorang budak belian yang telah dibebaskan, tetapi tidak mau pulang kembali kepada orang tuanya. Untuk meningkatkan derajat dari budak belian yang tadinya tidak merdeka, maka Hz. Sayyidina Rasulullah s.a.w. meminta Hz. Siti Zainab r.a. (anak dari bibi Rasulullah s.a.w. yang seorang bangsawati Arab) agar mau menikah dengan Zaid. Pernikahan ini dimaksudkan untuk meniadakan perbedaan dan pembagian kelas dalam masyarakat. Namun perkawinan dengan perbedaan bibit-bobot-bebet, tidak adanya persesuaian dalam pembawaan dan perangai mereka, dan juga oleh sebab perasaan rendah diri yang diderita Zaid, dan mungkin juga cara hidup yang menyolok itu nampaknya atau terbukti menimbulkan beberapa masalah, sehingga perkawinannya menjadi tidak harmonis.

Allah Ta’ala dalam ayat 33:41 ini telah menerangkan dengan amat jelas bahwa: *“Muhammad bukanlah bapak salah seorang dari antara kaum laki-lakimu”* [artinya Nabi Muhammad s.a.w. *bukanlah bapaknya Zaid, dan Nabi s.a.w. tidak mempunyai anak laki-laki,* karena semua anak laki-lakinya telah meninggal pada masa kanak-kanak], akan tetapi beliau s.a.w. adalah Rasul Allah dan Khaataman-Nabiyyiin.

Bagi Hz. Siti Zainab r.a. yang telah menjadi janda karena bercerai dari Hz. Zaid r.a., maka Hz.  Rasulullah s.a.w. kembali ingin mengangkat derajat janda yang pernikahannya dahulu itu adalah atas dasar rekomendasi beliau s.a.w., dengan menjadikannya sebagai isteri Nabi, ummul mukminin.

Dengan demikian, hikmah pernikahan Nabi s.a.w. dengan Hz. Zainab r.a. - yang sebelumnya telah mendapat kecaman dan cacian dari para penentangnya - memiliki makna:

(i) Menggugurkan tradisi larangan menikahi janda (bekas istri) anak angkat,

(ii) mengangkat derajat janda bekas budak belian menjadi ummul mukminin (Ibu orang-orang beriman).

Jadi, selain ayat 33:41 di atas tentang Khaataman-Nabiyyiin, *di dalam Kitab Suci Al-Qur’an tidak ada satu ayat pun yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad s.a.w. adalah nabi terakhir dan tidak ada nabi setelahnya, namun yang ada hanyalah gelar kata pujian khaatam.* 



Perlu diperhatikan adanya kata *laakin* (melainkan) yang disisipkan sebelum kata rasulullah dan khaataman-nabiyyiin. Kata melainkan biasanya digunakan untuk menghilangkan keraguan. Setiap orang Islam jika membaca kalimat pertama tersebut juga timbul pertanyaan dan keraguan mengapa Muhammad bukan bapak dari seorang laki-laki di antara kamu?

Firman Allah dalam Surah al-Kautsar ayat 4 menyatakan: “Sesungguhnya, musuh engkaulah yang akan tanpa keturunan.”

Sejarah Islam mencatat bahwa empat putra kandung Hz. Rasulullah s.a.w. (Qasim, Thayib, Thaher dan Ibrahim) semuanya wafat dalam masa kanak-kanak. Tidak ada keturunan langsung Hz. Rasulullah s.a.w. sampai dengan hari ini yang berasal dari putra kandungnya. Hal ini dibuktikan dan diakui oleh Allah S.w.t. dalam Surah al-Kautsar ayat 4 bahwa beliau s.a.w. tidak akan memiliki anak laki-laki. Jadi, untuk menghilangkan keraguan itu, Dia menampilkan kata laakin dan menerangkan bahwa dengan pernyataan itu Allah Ta’ala menghilangkan keraguan dengan cara demikian, yaitu *walaupun Hz. Rasulullah s.a.w. bukan bapak dari seorang lakilaki, namun demikian tidak dapat beliau disebut abtar (terputus atau tidak berketurunan), sesungguhnya musuhnyalah yang terputus atau tidak berketurunan. Sebab beliau adalah seorang Rasul Allah. Jadi, silsilah keturunan ruhani seorang Rasul Allah dapat menjadi amat banyak dan luas jangkauannya tak terhingga.*

Selanjutnya diteruskan dengan kalimat wa khaataman-nabiyyiin, penekanan pokok masalah pertama lebih terfokus yaitu *tidak hanya orang mukmin sebagai keturunan rohani beliau*, bahkan beliau s.a.w. merupakan stempel para nabi. *Dengan stempel atau cap beliau s.a.w. seorang insan akan dapat mencapai ketinggian martabat ruhani bahkan kenabian.*

Jadi beliau s.a.w. *bukan saja bapak ruhani bagi orang biasa tetapi juga menjadi bapak ruhani bagi para nabi.*

Jadi, *pengertian khaatam dengan arti seal, segel, stempel, cap, meterai atau cincin (perhiasan) tidaklah merendahkan martabat Hz. Rasulullah s.a.w., bahkan lebih menguatkan kesempurnaan beliau s.a.w., bahwa segala sifat-sifat yang utama yang terdapat dalam pribadi para nabi terdahulu maupun yang akan datang terkumpul dalam diri Hz. Rasulullah Muhammad s.a.w. Hanya beliau s.a.w. seorang yang pantas menyandang gelar khaatamul anbiya’, insan kamil, dan rahmatan lil alamin sehingga menjadi teladan bagi seluruh umat manusia untuk selama-lamanya.*


*Meninggalnya Ibrahim putra Rasulullah menyangkal makna khataman nabiyyiin sebagi penutup nabi²*

Peristiwa wafatnya Ibrahim tercatat sebagai berikut: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, berkatalah ia: “Ketika Ibrahim ibnu Rasulullah s.a.w. wafat, Rasulullah s.a.w. menshalatinya dan bersabda, “Sesungguhnya di sorga ada yang menyusukannya, dan *kalau usianya panjang, ia akan menjadi nabi yang benar*.” (H. R. Ibnu Majah).

Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 9 Hijriah, sedangkan ayat khaataman-nabiyyiin diwahyukan pada tahun 5 Hijriah. Jadi, beliau s.a.w. mengucapkan kata-kata tersebut 4 tahun setelah menerima wahyu ayat khaataman-nabiyyiin. Jika ayat khaataman-nabiyyiin diartikan sebagai penutup atau kesudahan atau penghabisan atau akhir nabi-nabi, maka seharusnya beliau mengatakan jikalau usianya panjang, tentu ia (Ibrahim) tidak akan menjadi nabi karena akulah penutup nabi-nabi.

Jadi amat jelas bahwa Nabi s.a.w. yang menerima wahyu, dan paling mengetahui arti serta makna dari wahyu yang diterimanya dan beliau s.a.w. tidak mengungkapkan pengertian khaatam sebagai penutup atau terakhir.

Sabtu, 30 Desember 2017

Dajjal & Kecintaan Kepada Dunia



      Di dalam Hadits suci tertulis tentang Dajjal: "Laa yadaani li-ahadin liqitaalihi" (tidak ada seorang pun yang memiliki  kemampuan  untuk memeranginya). Kita tidak dapat melawan Dajjal ini dengan menggunakan sarana-sarana duniawi, sebab sarana-sarana duniawi itu sendiri sangat banyak terdapat padanya. Kita hendaknya memiliki suatu senjata ampuh yang tidak dimiliki olehnya, barulah kita dapat menang.
       
Pada masa sekarang ini, kecintaan terhadap dunia telah menguasai [segenap]  makhluk melampaui batas. Itulah yang ingin kita buang, dan membuangnya adalah pekerjaan yang paling sulit.
       
Ada tertulis bahwa hal yang paling terakhir terbuang dari dalam   nafs (jiwa) adalah kecintaan terhadap dunia. Tanpa suatu kekuatan Samawi (Langit) tidak ada suatu jalan keberhasilan bagi kita.”  (Malfuzhat,  jld. IX, hlm.58).


Senin, 02 November 2015

DUNIA ATAU AKHIRAT?

Terobsesi Dunia
atau Akhirat

Rasulullah pernah bersabda,
ﻣَﻦْ ﻛَﺎﻧَﺖِ ﺍﻵﺧِﺮَﺓُ ﻫَﻤَّﻪُ ﺟَﻌَﻞَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻏِﻨَﺎﻩُ ﻓِﻲ
ﻗَﻠْﺒِﻪِ ، ﻭَﺟَﻤَﻊَ ﻟَﻪُ ﺷَﻤْﻠَﻪُ ، ﻭَﺃَﺗَﺘْﻪُ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﻫِﻲَ
ﺭَﺍﻏِﻤَﺔٌ ، ﻭَﻣَﻦْ ﻛَﺎﻧَﺖِ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻫَﻤَّﻪُ ﺟَﻌَﻞَ ﺍﻟﻠَّﻪُ
ﻓَﻘْﺮَﻩُ ﺑَﻴْﻦَ ﻋَﻴْﻨَﻴْﻪِ ، ﻭَﻓَﺮَّﻕَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺷَﻤْﻠَﻪُ ، ﻭَﻟَﻢْ
ﻳَﺄْﺗِﻪِ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﺇِﻻ ﻣَﺎ ﻗُﺪِّﺭَ ﻟَﻪُ “
“Barangsiapa akhirat menjadi tujuan
(utama)nya maka Allah menjadikan
kecukupan pada hatinya,
mengumpulkan urusannya dan dunia
mendatanginya dalam keadaan
terhina. Dan barangsiapa dunia
menjadi tujuannya maka Allah
menjadikan kefaqiran di depan
matanya, menjadikan urusanya
bercerai-berai serta tidaklah dunia
datang kepadanya kecuali sesuatu
yang telah ditakdirkan baginya” (HR
Tirmidzi. Dishahihkan oleh syaikh
Albani)

Mari sedikit merenungi hadist diatas..
Rasulullah mengatakan bahwa
barangsiapa menjadikan akhirat
sebagai obsesi (tujuan utama)
hidupnya, maka Allah akan
memberikan tiga hal:
1. Kecukupan pada hati
2. Urusanya mudah
3. Dunia mendatanginya dalam
keadaan hina
Sebaliknya, jika dunia menjadi obsesi
maka Allah akan menjanjikan tiga hal
pula:
1. Diliputi kefaqiran/ perasaan
serba kurang
2. Urusanya berantakan
3. Tidaklah dunia datang
kepadanya kecuali sesuatu yang
telah ditakdirkan baginya

Sekarang mana yang menjadi obesi
hidupmu? Dunia atau akhirat?

“Barang siapa yang menghendaki
keuntungan di akhirat akan Kami
tambah keuntungan itu baginya dan
barang siapa yang menghendaki
keuntungan di dunia Kami berikan
kepadanya sebagian dari keuntungan
dunia dan tidak ada baginya suatu
bahagianpun di akhirat.” (QS Asy
Syura: 20)

Semoga bisa menjadi renungan kita
bersama.

Abu Zakariya Sutrisno. Riyadh, 30
Syawal 1434H.

Senin, 10 November 2014

PACARAN ISLAMI

Hubungan Muda-Mudi Sebelum Menikah dalam Tinjauan Syariat

Tak kenal maka tak sayang! Itulah sebuah ungkapan yang telah populer di kehidupan kita. Bahkan, ungkapan itu memang berlaku umum, yaitu sejak seseorang mulai mengenal lingkungan hidupnya. Dalam konteks hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, istilah œtak kenal maka tak saying” adalah awal dari terjalinnya hubungan saling mencintai. Apa lagi, di zaman sekarang ini hubungan seperti itu sudah umum terjadi di masyarakat. Yaitu, suatu hubungan yang tidak hanya sekadar kenal, tetapi sudah berhubungan erat dan saling menyayangi. Hubungan seperti ini oleh masyarakat dikenal dengan istilah “pacaran”.

Istilah pacaran berasal dari kata dasar pacar yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih. Istilah pacaran dalam bahasa Arab disebut tahabbub. Pacaran berarti bercintaan; berkasih-kasihan, yaitu dari sebuah pasangan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.

Para ulama telah banyak membicarakan masalah ini, seperti misalnya yang terdapat dalam Fatwa Lajnah Daimah, sebuah kumpulan fatwa dari beberapa ulama. Sebelum sampai pada simpulan hukum pacaran, terlebih dahulu ditelusuri berbagai kemungkinan yang terjadi ketika sebuah pasangan muda-mudi yang bukan mahram menjalin hubungan secara intim. Dengan penelusuran seperti ini, suatu tindakan tertentu yang berkaitan dengan hubungan muda-mudi ini dapat dinilai dari sudut pandang syar’i. Dengan demikian, kita akan dengan mudah mengetahui suatu “hubungan” yang masih dapat ditoleransi oleh syariat dan yang tidak.

Apa yang terjadi dari sebuah hubungan antara seseorang dengan orang lain secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi lima: perkenalan, hubungan sahabat, jatuh cinta, hubungan intim, dan hubungan suami istri.

Perkenalan

Islam tidak melarang seseorang untuk menganal orang lain, termasuk lawan jenis yang bukan mahram. Bahkan, Islam menganjurkan kepada kita untuk bersatu, berjamaah. Karena, kekuatan Islam itu adalah di antaranya kejamaahan, bahkan Allah menciptakan manusia menjadi berbangsa-bangsa dan bersuku-suku itu untuk saling mengenal.

Allah SWT berfirman yang artinya, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.” (Al-Hujuraat: 13).

Hubungan Sahabat

Hubungan sahabat adalah hubungan sebagai kelanjutan dari sebuah hubungan yang saling mengenal. Setelah saling mengenal, seseorang berhubungan dengan orang lain bisa meningkat menjadi teman biasa atau teman dekat (sahabat). Hubungan sahabat dimulai dari saling mengenal. Hubungan saling mengenal ini jika berlangsung lama akan menciptakan sebuah hubungan yang tidak hanya saling mengenal, tetapi sudah ada rasa solidaritas yang lebih tinggi untuk saling menghormati dan bahkan saling bekerja sama. Contoh yang mungkin dapat diambil dalam hal ini adalah seperti hubungan antara Zainudin MZ dengan Lutfiah Sungkar, Neno Warisman dengan Hari Mukti, dan lain-lain. Mereka adalah pasangan lawan-lawan jenis yang saling mengenal, juga dalam diri mereka terjalin hubungan yang saling menghormati, bahkan mungkin bisa bekerja sama. Dalam Islam, hubungan semacam ini tidaklah dilarang.

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Maidah: 2).

Jatuh Cinta

Islam juga tidak melarang seseorang mencintai sesuatu, tetapi untuk tingkatan ini harus ada batasnya. Jika rasa cinta ini membawa seseorang kepada perbuatan yang melanggar syariat, berarti sudah terjerumus ke dalam larangan. Rasa cinta tadi bukan lagi dibolehkan, tetapi sudah dilarang. Perasaan cinta itu timbul karena memang dari segi zatnya atau bentuknya secara manusiawi wajar untuk dicintai. Perasaan ini adalah perasaan normal, dan setiap manusia yang normal memiliki perasaan ini. Jika memandang sesuatu yang indah, kita akan mengatakan bahwa itu memang indah. Imam Ibnu al-Jauzi berkata, “Untuk pemilihan hukum dalam bab ini, kita harus katakan bahwa sesungguhnya kecintaan, kasih sayang, dan ketertarikan terhadap sesuatu yang indah dan memiliki kecocokan tidaklah merupakan hal yang tercela. Terhadap cinta yang seperti ini orang tidak akan membuangnya, kecuali orang yang berkepribadian kolot. Sedangkan cinta yang melewati batas ketertarikan dan kecintaan, maka ia akan menguasai akal dan membelokkan pemiliknya kepada perkara yang tidak sesuai dengan hikmah yang sesungguhnya, hal seperti inilah yang tercela.”

Begitu juga ketika melihat wanita yang bukan mahram, jika ia wanita yang cantik dan memang indah ketika secara tidak sengaja terlihat oleh seseorang, dalam hati orang tersebut kemungkinan besar akan terbesit penilaian suatu keindahan, kecantikan terhadap wanita itu. Rasa itulah yang disebut rasa cinta, atau mencintai. Tetapi, rasa mencintai atau jatuh cinta di sini tidak berarti harus diikuti rasa memiliki. Rasa cinta di sini adalah suatu rasa spontanitas naluri alamiah yang muncul dari seorang manusia yang memang merupakan anugerah Tuhan. Seorang laki-laki berkata kepada Umar bin Khattab r.a., “Wahai Amirul Mukminin, aku telah melihat seorang gadis, kemudian aku jatuh cinta kepadanya.” Umar berkata,  “Itu adalah termasuk sesuatu yang tidak dapat dikendalikan.” (R Ibnu Hazm). Dalam kitab Mauqiful Islam minal Hubb, Muhammad Ibrahim Mubarak menyimpulkan apa yang disebut cinta, “Cinta adalah perasaan di luar kehendak dengan daya tarik yang kuat pada seseorang.”

Sampai batas ini, syariat Islam masih memberikan toleransi, asalkan dari pandangan mata pertama yang menimbulkan penilaian indah itu tidak berlanjut kepada pandangan mata kedua. Karena, jika raca cinta ini kemudian berlanjut menjadi tidak terkendali, yaitu ingin memandang untuk yang kedua kali, hal ini sudah masuk ke wilayah larangan.

Allah SWT berfirman yang artinya, “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka .” (An-Nuur: 30-31). Menundukkan pandangan yaitu menjaga pandangan, tidak dilepas begitu saja tanpa kendali sehingga dapat menelan merasakan kelezatan atas birahinya kepada lawan jenisnya yang beraksi. Pandangan yang terpelihara adalah apabila secara tidak sengaja melihat lawan jenis kemudian menahan untuk tidak berusaha melihat lagi kemudian.

Dari Jarir bin Abdullah, ia berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah saw tentang melihat dengan mendadak. Maka jawab Nabi, “Palingkanlah pandanganmu itu.” (HR Muslim, Abu Daud, Ahmad, dan Tirmizi).

Rasulullah saw. berpesan kepada Ali r.a. yang artinya, “Hai Ali, Jangan sampai pandangan yang satu mengikuti pandangan lainnya! Kamu hanya boleh pada pandangan pertama, adapun berikutnya tidak boleh.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmizi).

Ibnul Jauzi di dalam Dzamm ul Hawa menyebutkan bahwa dari Abu al-Hasan al-Waâ’ifdz, dia berkata, “Ketika Abu Nashr Habib al-Najjar al-Waâ’idz wafat di kota Basrah, dia dimimpikan berwajah bundar seperti bulan di malam purnama. Akan tetapi, ada satu noktah hitam yang ada wajahnya. Maka orang yang melihat noda hitam itu pun bertanya kepadanya, ‘Wahai Habib, mengapa aku melihat ada noktah hitam berada di wajah Anda?’ Dia menjawab, ‘Pernah pada suatu ketika aku melewati kabilah Bani Abbas. Di sana aku melihat seorang anak amrad dan aku memperhatikannya. Ketika aku telah menghadap Tuhanku, Dia berfirman, ‘Wahai Habib?’ Aku menjawab, ‘Aku memenuhi panggilan-Mu ya Allah.’ Allah berfirman, ‘Lewatlah Kamu di atas neraka.’ Maka aku melewatinya dan aku ditiup sekali sehingga aku berkata, ‘Aduh (karena sakitnya).’  Maka Dia memanggilku, ‘Satu kali tiupan adalah untuk sekali pandangan. Seandainya kamu berkali-kali memandang, pasti Aku akan menambah tiupan (api neraka).’” Hal tersebut sebagai gambaran, bahwa hanya melihat amrad (anak muda belia yang kelihatan tampan) saja akan mengalami kesulitan yang sangat dalam di akhirat kelak.

Hubungan Intim

Jika rasa jatuh cinta ini berlanjut, yaitu menimbulkan langkah baru dan secara kebetulan pihak lawan jenis merespon dan menerima hubungan ini, terjadilah hubungan yang lebih jauh dan lebih tinggi levelnya, yaitu hubungan intim. Hubungan ini sudah tidak menghiraukan lagi rambu-rambu yang ketat, apalagi aturan. Dalam hubungan ini pasangan muda-mudi sudah bisa merasakan sebagian dari apa yang dialami pasangan suami istri. Pelaku hubungan pada tingkatan ini sudah lepas kendali. Perasan libido seksual sudah sangat mendominasi. Dorongan seksual inilah yang menjadi biang keladi hitam kelamnya hubungan tingkat ini. Bersalaman dan saling bergandeng tangan agaknya sudah menjadi pemandangan umum di kehidupan masyarakat kita, bahkan saling berciuman sudah menjadi tren pergaulan intim muda-mudi zaman sekarang. Inilah hubungan muda-mudi yang sekarang ini kita kenal dengan istilah pacaran.

Malam minggu adalah malam surga bagi pasangan muda-mudi yang menjalin hubungan pada tingkatan ini. Mereka telah memiliki istilah yang sudah terkenal  yaitu apel. Sang kekasih datang ke rumah kekasihnya. Ada kalanya apel hanya dilaksanakan di rumah saja, ada kalanya berlanjut pergi ke suatu tempat yang tidak diketahui lingkungan yang dikenalnya. Dengan begitu, mereka bebas melakukan apa saja atas dasar saling menyukai.

Al-Hakim meriwayatkan, “Hati-hatilah kamu dari bicara-bicara dengan wanita, sebab tiada seorang laki-laki yang sendirian dengan wanita yang tidak ada mahramnya melainkan ingin berzina padanya.”

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali dia berduaan dalam tempat sepi dengan seorang wanita, sedang dia dengan wanita tersebut tidak memiliki hubungan keluarga (mahram), karena yang ketiga dari mereka adalah setan.” (HR Ahmad).

Ath-Thabarani meriwayatkan, Nabi saw. bersabda yang artinya, “Awaslah kamu dari bersendirian dengan wanita, demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, tiada seorang lelaki yang bersendirian (bersembunyian) dengan wanita malainkan dimasuki oleh setan antara keduanya. Dan seorang yang berdesakkan dengan babi yang berlumuran lumpur yang basi lebih baik daripada bersentuhan bahu dengan bahu wanita yang tidak halal baginya.”

Ibnul Jauzi di dalam Dzamm ul-Hawa menyebutkan bahwa Abu Hurairah r.a. dan Ibn Abbas r.a. keduanya berkata, Rasulullah saw. berkhotbah, “Barang siapa yang memiliki kesempatan untuk menggauli seorang wanita atau budak wanita lantas dia melakukannya, maka Allah akan mengharamkan surga untuknya dan akan memasukkan dia ke dalam neraka. Barangsiapa yang memandang seorang wanita (yang tidak halal) baginya, maka Allah akan memenuhi kedua matanya dengan api dan menyuruhnya untuk masuk ke dalam neraka. Barangsiapa yang berjabat tangan dengan seorang wanita (yang) haram (baginya) maka di hari kiamat dia akan datang dalam keadaan di belenggu tangannya di atas leher, kemudian diperintahkan untuk masuk ke dalam neraka. Dan barangsiapa yang bersenda gurau dengan seorang wanita, maka dia akan ditahan selama seribu tahun untuk setiap kata yang diucapkan di dunia. Sedangkan setiap wanita yang menuruti (kemauan) lelaki (yang) haram (untuknya), sehingga lelaki itu terus membarengi dirinya, mencium, bergaul, menggoda dan bersetubuh dengannya, maka wanitu itu juga mendapatkan dosa seperti yang diterima oleh lelaki tersebut.”

Hubungan intim ini akan sampai pada puncaknya jika terjadi suatu hubungan sebagaimana layaknya yang dilakukan oleh suami istri.

Hubungan Suami-Istri

Agama Islam itu adalah agama yang tidak menentang fitrah manusia. Islam sangat sempurna di dalam memandang hal semacam ini. Manusia diciptakan oleh Allah SWT memiliki dorongan sek. Oleh karena itu, Islam menempatkan syariat pernikahan sebagai salah satu sunah nabi-Nya.

Hubungan sepasang kekasih mencapai puncak kedekatan setelah menjalin hubungan suami-istri. Dengan pernikahan, seseorang sesungguhnya telah dihalalkan untuk berbuat sesukannya terhadap istri/suaminya (dalam hal mencari kepuasan libido seksualnya: hubungan badan), asalkan saja tidak melanggar larangan yang telah diundangkan oleh syariat.

Kita tidak menyangkal bahwa di dalam kenyataan sekarang ini meskipun sepasang kekasih belum melangsungkan pernikahan, tetapi tidak jarang mereka melakukan hubungan sebagaimana layaknya hubungan suami-istri. Oleh karena itu, kita sering mendengar seorang pemudi hamil tanpa diketahui dengan jelas siapa yang menghamilinya. Bahkan, banyak orang yang melakukan aborsi (pengguguran kandungan) karena tidak sanggup menahan malu memomong bayi dari hasil perbuatan zina.

Jika suatu hubungan muda-mudi yang bukan mahram (belum menikah) sudah seperti hubungan suami istri, sudah tidak diragukan lagi bahwa hubungan ini sudah mencapai puncak kemaksiatan. Sampai hubungan pada tingkatan ini, yaitu perzinaan, banyak pihak yang dirugikan dan banyak hal telah hilang, yaitu ruginya lingkungan tempat mereka tinggal dan hilangnya harga diri dan agama bagi sepasang kekasih yang melakukan perzinaan. Selain itu, sistem nilai-nilai keagamaan di masyarakat juga ikut hancur.

Di dalam kitab Ibnu Majah diriwayatkan bahwa Ibnu Umar r.a. bertutur bahwa dirinya termasuk sepuluh orang sahabat Muhajirin yang duduk bersama rasulullah saw. Lalu, beliau mengarahkan wajahnya kepada kami dan bersabda, “Wahai segenap Muhajirin, ada lima hal yang membuat aku berlindung kepada Allah dan aku berharap kalian tidak mendapatkannya. Pertama, tidaklah perbuatan zina tampak pada suatu kaum sehingga mereka melakukan terang-terangan, melainkan mereka akan tertimpa bencana wabah dan penyakit yang tidak pernah ditimpakan kepada orang-orang sebelum mereka. Kedua, tidaklah suatu kaum mengurangi takaran dan timbangan, melainkan mereka akan tertimpa paceklik, masalah ekonomi, dan kedurjanaan penguasa. Ketiga, tidaklah suatu kaum menolak membayar zakat, melainkan mereka akan mengalami kemarau panjang. Sekiranya tidak karena binatang, niscaya mereka tidak akan diberi hujan. Keempat, tidaklah suatu kaum melakukan tipuan (ingkar janji), melainkan akan Allah utus kepada mereka musuh yang akan mengambil sebagian yang mereka miliki. kelima, tidaklah para imam (pemimpin) mereka meninggalkan (tidak mengamalkan Alquran), melainkan akan Allah jadikan permusuhan antarmereka.” (HR Ibnu Majah dan Hakim).

“Semalam aku melihat dua orang yang datang kepadaku. Lantas mereka berdua mengajakku keluar. Maka aku berangkat bersama keduanya. Kemudian keduanya membawaku melihat lubang (dapur) yang sempit atapnya dan luas bagian bawahnya, menyala api, dan bila meluap apinya naik orang-orang yang di dalamnya sehingga hampir keluar. Jika api itu padam, mereka kembali ke dasar. Lantas aku berkata, ‘Apa ini?’ Kedua orang itu berkata, ‘Mereka adalah orang-orang yang telah melakukan zina” (Isi hadis tersebut kami ringkas redaksinya. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim).

Athaâ  al-Khurasaniy berkata,  “Sesungguhnya neraka Jahanam memiliki tujuh buah pintu. Yang paling menakutkan, paling panas dan paling busuk baunya adalah pintu yang diperuntukkan bagi para pezina yang melakukan perbuatan tersebut setelah mengetahui hukumnya.” (Dzamm ul-Hawa, Ibnul Jauzi).

Dengan mengetahui dampak negatif yang sangat besar ini, kita akan menyadari dan meyakini bahwa apa yang disabdakan oleh Rasulullah saw. itu ternyata memang benar. Apabila seorang pemuda sudah siap untuk menikah, segerakanlah menikah. Hal ini sangat baik untuk menghindari terjadinya perbutan maksiat. Tetapi, jika belum mampu untuk menikah, orang tersebut hendaknya berpuasa. Karena, puasa itu di antaranya dapat menahan hawa nafsu.

“Wahai segenap pemuda, barang siapa yang mampu memikul beban keluarga hendaklah menikah. Sesungguhnya pernikahan itu lebih dapat meredam gejolak mata dan nafsu seksual, tetapi barang siapa belum mampu, hendaklah dia berpuasa, karena puasa itu benteng (penjagaan) baginya.” (HR Bukhari). (Abu Annisa)

Referensi:
1. Al-Qurâan al-Karim
2. Dzamm ul-Hawa, Ibnul Jauzi
3. Mauqiful Islam Minal Hubb, Muhammad Ibrahim Mabrouk
4. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
5. Shahih Bukhari
6. Shahih Muslim
7. 1100 Hadits Terplih: Sinar Ajaran Muhammad, Dr. Muhammad Faiz Almath

http://www.ppmr.org/arsip/ hubungan-muda-mudi-sebelum-menikah-pacaran-dalam-tinjauan-syariat/

Rabu, 05 September 2012

Ma'rifatullah: Mengenal Allah Sebagaimana Dia Memperkenalkan Diri-Nya


Ma’rifatullah: Mengenal Allah sebagaimana Dia Memperkenalkan Diri-Nya
“Sesungguhnya, Aku Allah ; tiada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku, dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku; (20:14)
Memahami Tabi’at Allah
Sebelum kami membicarakan sifat-sifat Allah, perlu kami mengingatkan para pembaca tentang adanya salah paham mengenai Tabi’at Tuhan. Dalam Al-Quran, Allah dikatakan sebagai Yang melihat, mendengar, berbicara, marah, mencintai, penuh kasih sayang, menguasai, mengawasi dan sebagainya. Tetapi digunakannya sifat-sifat itu janganlah diartikan bahwa Allah itu seperti manusia, karena dalam Al-Quran diuraikan seterang-terangnya bahwa Allah adalah di atas segala paham kebendaan. Al-Quran berfirman: “Penglihatan tak dapat menjangkau Dia, dan Dia menjangkau semua penglihatan” (6:104). Dan Allah bukan saja di atas batas-batas kebendaan, melainkan pula di atas batas-batas pepindan (metaphor). Al-Quran berfirman: “Tak ada sesuatu pun yang menyerupai Dia” (42:11).

 Untuk menyatakan kecintaan Allah, kekuasaan-Nya, ilmu-Nya dan sifat-sifat-Nya yang lain, memang harus digunakan kata seperti itu yang biasa digunakan sehari-hari, namun pengertian kata-kata itu sangatlah berlainan. Jika dikatakan Allah melihat, ini tidaklah berarti Allah melihat dengan mata seperti kita yang membutuhkan cahaya untuk melihat sesuatu seperti kita. Atau jika dikatakan Allah mendengar, ini tidaklah berarti Allah mempunyai telinga seperti kita, atau membutuhkan udara atau sarana lain agar suara dapat didengar oleh-Nya. Atau apabila dikatakan Allah menciptakan atau membuat sesuatu, ini tidaklah berarti Allah mempunyai tangan seperti kita, atau ia membutuhkan bahan untuk membuat sesuatu.

Demikian pula cinta, perkenan, marah, dan kasih sayang Allah, semuanya tak tergantung kepada anggota badan seperti manusia. Sekalipun di dalam Al-Quran terdapat ayat yang menerangkan “tangan Allah” (5:64), tetapi ini hanyalah untuk menyatakan tak terbatasnya kekuasan Allah dalam menganugrahkan nikmat-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Kata yad yang artinya tangan, ini digunakan pula secara kiasan dalam arti nikmat (ni’mah), atau perlindungan (hifazhah). Demikianlah dalam 2:237 tercantum kalimat yang berbunyi: “orang yang tali pernikahan ada di tangannya”, dimana kata yad/tangan di sini digunakan dalam arti kiasan.
Dalam kitab Nihayah diterangkan bahwa kata yad berarti hifzun (perlindungan), dan difa’ (pembelaan), dan untuk memperkuat itu, dikutipnya satu Hadits tentang Ya’juj wa Ma’juj yang berbunyi: la yadani li ahadin liqitalihim, artinya, tak seorang pun mempunyai kekuatan (yadani, makna aslinya dua tangan) untuk memerangi mereka.Oleh sebab itu, menurut idium bahasa Arab, kata yadullah (tangan Allah) dalam 5:64, berarti nikmat Allah.

Salah paham lain lagi, bahkan salah paham besar, ialah mengenai arti kata al-kasyfu ‘anis-saqi. Kesalahan itu tiada lain hanyalah karena tak tahu akan idium bahasa Arab, hingga kata-kata itu diterjemahkan tersingkap betisnya. Kata-kata itu tercantum dua kali dalam Al-Quran, pertama, sehubungan dengan Ratu Sheba (27:44), dan yang kedua, dalam bentuk passif, tanpa disebutkan sasarannya (68:42). Kata-kata itu tak pernah digunakan sehubungan dengan Allah. Kata saqun yang artinya betis itu, jika digunakan dalam ungkapan al-kasyfu ‘anis-saqi, artinya berlainan sekali, kata dalam hal ini kata saqun berarti kesukaran atau kesusahan. Jadi, kata al-kasyifu ‘anis-saqi artinya bersiap-siap untuk menghadapi kesukaran atau keluar dari kesusahan (TA., LL.).

‘Arsy Allah

Al-Quran menguraikan ‘Arsy atau Singgasana Allah, tetapi ‘Arasy itu bukanlah tempat, melainkan gambaran tentang penguasaan Allah atas segala sesuatu, sebagaimana singgasana raja melambangkan kekuasaan raja untuk memerintah. ‘Arsy Allah adalah salah satu di antara segala sesuatu yang manusia tak tahu akan hakikatnya kecuali hanya namanya saja, dan itu tidaklah seperti yang terbayang dalam pikiran orang awam … Dan ‘Arsy mengandung arti kekuasaan atau kekuatan dan pemerintahan (R).

 Istawa ‘alal-arsy adalah bentuk kalimat yang berulang-ulang dicantumkan dalam Al-Quran sehubungan dengan kata ‘Arsy, dan kalimat itu selalu dicantumkan sesudah uraian Al-Quran tentang terciptanya langit dan bumi, dan bertalian dengan pengawasan Allah terhadap makhluk-Nya, dan bertalian pula dengan undang-undang dan aturan, yang dengan undang-undang itu seluruh alam semesta ditundukkan oleh Penguasa Yang Maha-tinggi.

Kata istawa jika diikuti dengan kata ‘ala ini berarti Dia mempunyai kekuasaan atas sesuatu, atau mempunyai wibawa terhadap itu (R). Dalam Al-Quran tak ada ayat yang menerangkan bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arsy; hanya kekuasaan Allah sajalah yang selalu diuraikan bertalian dengan ‘Arsy itu.

Salah paham lain lagi ialah mengenai kata kursiyy (makna aslinya kursi) yang oleh sebagian ulama dikira kursi sungguh-sungguh, padahal menurut ulama lain, yakni sahabat Ibnu ‘Abbas, beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud kursiyy ialah ilmu atau pengetahuan (Bal. 2:255). Bahkan menurut para ahli kamus bahasa Arab, kata kursiyy dalam ayat itu berarti ilmu Allah atau kerajaan Allah (R). Oleh karena itu, yang dimaksud kursiyy dan ‘Arsy hanyalah ilmu dan kekuasaan Allah.

Nama-Nama Tuhan

Allah adalah nama Tuhan (Ismu dzat), untuk membedakan dari nama yang lain yang disebut asma’us-shifat atau nama yang menunjukkan sifat. Kata Allah juga disebut ismu a’zam atau nama yang amat mulia. Oleh karena kata Allah itu nama, maka tak mempunyai arti. Tetapi oleh karena kata Allah itu nama Dzat Tuhan maka itu mencakup segala sifat yang diuraikan tersendiri berupa asma’ul-husna atau nama-nama yang indah. Oleh sebab itu, nama Allah dikatakan sebagai nama yang menghimpun segala sifat Allah yang sempurna. Oleh karena kata Allah itu nama, maka itu jamid, artinya, tak digubah dari perkataan lain. Kata Allah tak ada sangkut pautnya dengan kata ilah (dewa atau pujaan), yang kata ini berasal dari akar kata aliha artinya tahayyara atau ta’ajub; atau digubah dari kata wilahdari akar kata waliha, artinya tergila-gila.

Kadang-kadang ada yang mengatakan bahwa kata Allah itu kependekan dari kata al-ilah, tetapi pendapat itu keliru, karena jika al dari kata Allah itu suatu awalan, maka bentuk kalimat ya Allah itu tak dibenarkan, seperti tak dibenarkannya bentuk kalimat ya al-ilah atau ya ar-Rahman; padahal bentuk kalimat ya Allah itu sudah benar. Selain itu, dugaan tersebut mengandung arti, bahwa pada zaman dahulu ada bermacam-macam dewa (alihah) jamaknya dari kata ilah.Di antara para dewa itu ada satu yang lambat laun dikenal dengan nama al-ilah, lalu dipendekkan menjadi Allah. Ini adalah bertentangan dengan kenyataan, karena kata Allah itu selalu menjadi nama “Dzat Yang Hidup Kekal” (DI). Dan menurut para ahli kamus bahasa Arab, kata Allah tak pernah digunakan untuk menamakan siapa pun selain Tuhan. Bangsa Arab mempunyai banyak ilah atau pujaan, tetapi tak ada satu pun yang pernah diberi nama Allah; sedang Yang Maha-tinggi yang disebut Allah, diakui oleh bangsa Arab sebagai Pencipta alam semesta, jauh lebih tinggi dari pujaan mereka (29:61), dan tak pernah ada dewa lain, betapa pun besarnya dewa tersebut, dianggap sebagai Pencipta alam semesta.

Empat sifat utama Allah

Di antara sifat-sifat Allah yang tercantum di dalam Al-Quran, ada empat yang paling menonjol, dan empat sifat itu tepat sekali disebutkan dalam Surat al-Fatihah atau Surat Pembukaan, yang, baik menurut ijma maupun Hadits, merupakan inti Al-Quran. Surat al-Fatihah diawali dengan nama Allah, lalu diikuti dengan sifat yang paling mulia di antara sifat-sifat Tuhan, yakni Rabb, yang karena tak adanya terjemahan yang paling tepat, maka Rabb ini biasa diterjemahkan dengan arti Tuhan saja. Menurut ahli kamus Al-Quran kenamaan, arti kata Rabb ialah Yang memelihara sesuatu demikian rupa, melalui tingkatan yang satu lepas tingkatan yang lain, hingga itu mencapai tujuan yang sempurna (R). 

Oleh karena itu, Rabb berarti Tuhan Yang membimbing segala sesuatu di alam semesta ini menuju tujuan kesempurnaan melalui berbagai tingkat perkembangan;  dan oleh karena tingkat perkembangan itu meliputi dari yang serendah-rendahnya hingga setinggi-tingginya, yang jika kembali ke belakang dan terus ke belakang lagi, maka kita menjadi tak ada artinya samasekali, jadi terang sekali bahwa kata Rabb mengandung arti Dzat Yang membimbing ke arah kesempurnaan, karenanya Rabb sifat Tuhan yang paling utama; oleh sebab itu, semua do’a itu biasanya ditujukan kepada Rabb, dan tiap-tiap do’a selalu diawali dengan kata Rabbanaa artinya Wahai Tuhan kami8.  Sungguh tepat sekali bahwa Al-Quran memberi tempat istimewa kepada sifat Rabb yang ditempatkan sesudah nama Allah.

Susunan yang diambil oleh Al-Quran dalam menguraikan sifat-sifat Allah sangat ilmiah sekali. Nama Allah disebutkan pertama kali dalam Surat al-Fatihah, lalu disusul dengan Rabb, yaitu sifat Allah yang amat penting. Pentingnya dua nama itu dapat dibuktikan dengan adanya kenyataan bahwa dalam Al-Quran dicantumkan nama Allah sebanyak 2.800 kali, sedang nama Rabb, sebanyak 960 kali. Tak ada nama Tuhan lainnya yang begitu kerap disebutkan dalam Al-Quran.

Nama penting lainnya yang begitu kerap disebutkan dalam Al-Quran ialah Rahman, Rahim, dan Malik, yang dalam Surat al-Fatihah diletakkan sesudah Rabb. Sebenarnya, tiga nama ini menunjukkan bagaimana sifat rububiyyah Allah dilaksanakan. Kata Rahman dan Rahim berasal dari akar kata yang sama, yaitu rahmah, yang artinya, kelembutan hati yang menuntut pemberian kasih sayang kepada orang atau sesuatu yang disayangi; jadi ini mencakup pengertian cinta dan kasih. Kata rahman digubah dari wazan fa’lan, menunjukkan melimpah-limpahnya rahmah pada Allah, dan kata rahim digubah dari wazan fa’il yang menunjukkan berulang-ulangnya rahmah itu. Mengingat perbedaan itu, maka rahman mengandung arti bahwa cinta dan kasih Allah begitu melimpah hingga Allah menganugerahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada manusia sekalipun mereka tak berbuat sesuatu yang menyebabkan mereka pantas menerima rahmat itu. Pemberian segala kebutuhan hidup untuk mengembangkan jasmani mereka, ini semata-mata berkat adanya cinta-kasih Allah yang tak terhingga. Kemudian menyusul suatu tingkatan, dimana manusia memanfaatkan bahan-bahan pemberian Allah (rahmaniah Allah) dan digunakan untuk mengembangkan jasmani dan rohaninya. Pada tingkatan inilah muncul sifat Allah yang nomor tiga, yaitu rahim, yang melalui sifat ini Allah mengganjar setiap perbuatan baik dan benar yang dilakukan manusia, dan selama manusia tak henti-hentinya melakukan itu, maka kasih-sayang Allah yang dipertontonkan melalui sifat Rahim juga akan terus bekerja. Sifat rahimiyah ini terus bekerja dalam perkembangan jasmani maupun rohani manusia.

 Diriwayatkan bahwa Nabi Suci bersabda: “Ar-Rahman ialah Tuhan Yang Maha-pemurah, Yang cinta-kasih-Nya diwujudkan di alam dunia ini, dan Rahim ialah Tuhan Yang Maha-pengasih Yang cinta-kasih-Nya diwujudkan pada hari kemudian” (BM. I, hal. 17).

Tetapi untuk membimbing sekalian makhluk menuju ke arah kesempurnaan masih diperlukan adanya sifat Allah yang lain. Sebagaimana ketaatan kepada undang-undang menyebabkan kemajuan manusia dan mendatangkan ganjaran, demikian pula pelanggaran terhadap undang-undang akan menyebabkan terhambatnya kemajuan dan mendatangkan siksaan. Sebenarnya menghukum orang yang salah, itu menurut ketetapan Tuhan sama perlunya dengan mengganjar manusia yang berbuat baik, dan hukuman itu sebenarnya hanya suatu tingkatan dari pelaksanaan sifat Rububiyah, karena tujuan terakhir adalah demi kebaikan manusia itu sendiri. 

Oleh karena itu, sebagaimana sifat rahim itu diperlukan untuk mengganjar orang yang berbuat baik atau taat kepada undang-undang, maka amat diperlukan sifat yang lain untuk menghukum orang yang berbuat jahat. Itulah sebabnya mengapa dalam Surat al-Fatihah, sifat rahim diikuti oleh sifat maliki yaumiddin atau Yang Memiliki hari pembalasan.

Penggunaan kata malik (maknanya Pemilik) sehubungan dengan hukuman terhadap perbuatan jahat ini mempunyai arti yang dalam, karena biasanya, untuk menentukan hukuman terhadap suatu kejahatan, orang harus menantikan keputusan hakim. Adapun perbedaan penting antara hakim dan pemilik ialah, hakim harus menjalankan keadilan dan harus menghukum setiap kejahatan yang dilakukan oleh penjahat, sedangkan pemilik, ia boleh berbuat sesukanya, ia boleh menghukum si penjahat, dan boleh pula mengampuninya, bahkan boleh pula membiarkan dia menjalankan kejahatan yang lebih besar lagi 9.

Pengertian ini dikembangkan sepenuhnya dalam Al-Quran yang menerangkan berulangkali bahwa perbuatan baik mendapat ganjaran lipat sepuluh atau bahkan lebih, tetapi perbuatan jahat hanya mendapat hukuman setimpal atau bahkan diampuni. Dalam Al-Quran diuraikan, bahwa kasih-sayang Allah begitu besar, hingga “Dia mengampuni semua dosa” (39:53). Oleh sebab itu, diketengahkannya sifat Malik adalah untuk menghubungkan antara hukuman dan pengampunan, dan itulah sebabnya mengapa diletakkan dalam urutan sifat yang penting, sifat Malik diletakkan sesudah sifat Rahim dalam Surat al-FAtihah, sedang dalam seluruh Al-Quran, sifat Ghafur atau Yang maha-pengampun menempati kedudukan yang penting. Dua sifat pertama, rahman dan rahim dengan segala bentuk kata kerjanya, tercantum sebanyak 580 kali, dan sifat ghafur yang frekwensinya di bawah sifat rahman dan rahim dengan segala kata kerjanya, tercantum sebanyak 230 kali. Oleh sebab itu terang sekali bahwa Al-Quran memberi tempat utama kepada sifat kasih-sayang Allah yang tak ada taranya, yang tidak pernah dijumpai dalam Kitab Suci yang lain di manapun.

Sembilan puluh sembilan Al-Asma’ul-Husna

Menilik penjelasan yang telah kami berikan tentang empat sifat utama, Rabb, Rahman Rahim dan Malik, dan menilik frekwensi dicantumkannya empat sifat itu dalam Al-Quran yang tak dapat ditandingi oleh lain-lain sifat, dan menilik disebutkannya empat sifat itu dalam Surat al-Fatihah, terang sekali bahwa Al-Quran memandang empat sifat itu sebagai sifat Allah yang paling utama, dan sifat Allah selebihnya hanyalah merupakan cabang dari empat sifat utama itu.

Berdasarkan Hadits yang diriwayatkan sahabat Abu Hurairah, yang Hadits itu dianggap gharib (lemah) oleh Imam Thirmidhi, diterangkan sembilanpuluh sembilan nama Tuhan; jika ini ditambah dengan nama Allah, maka genaplah menjadi seratus. Nama-nama itu sebagian dimuat dalam Al-Quran, sedang sebagian lagi hanya berupa penarikan kesimpulan dari beberapa perbuatan Allah yang diuraikan dalam Al-Quran. Tetapi tak ada satu dalil pun yang menganjurkan supaya orang menghitung nama-nama itu dengan tasbih atau dengan cara apa pun. Baik Nabi Suci maupun para sahabat tak ada yang pernah menggunakan tasbih.
Al-Quran berfirman: “Dan nama-nama yang amat mulia (asma’ul-husna) adalah kepunyaan Allah, maka menyerulah kepada-Nya dengan nama-nama itu, dan tinggalkanlah orang yang merusak kesucian nama-Nya” (7:180). Hubungan ayat ini dengan ayat sebelum dan sesudahnya menunjukkan, bahwa menyeru kepada Allah dengan nama-nama-Nya (asma’ul-husna), hanya berarti bahwa segala sifat yang merendahkan martabat Allah yang tinggi, tak boleh disifatkan kepada-Nya, karena dalam bagian kedua ayat tersebut diterangkan bahwa orang yang merusak kesucian nama Allah diberi peringatan keras 10;  adapun merusak kesucian nama Allah itu diterangkan sejelas-jelasnya bahwa yang dimaksud ialah, mengakukan kepada Allah sifat-sifat yang tak sesuai dengan martabat-Nya yang tinggi, atau mengakukan sifat-sifat Allah kepada selain Allah.

Oleh sebab itu, menyeru kepada Allah dengan asma’ul-husna berarti, sifat-sifat Allah yang luhur harus diakukan kepada Allah saja. Adapun nama-nama Allah (asma’ul-husna) yang disebutkan dalam Al-Quran adalah sebagai berikut:

1. Nama yang berhubungan dengan Allah ialah, al-Wahid atau Ahad (Yang Maha-esa), al-Haqq (Yang Maha-benar), al-Quddus (Yang Maha-suci), al-Shamad (Yang segala sesuatu bergantung kepada-Nya) sedang Dia sendiri tak bergantung kepada siapa pun), al-Ghani (Yang Maha-cukup sendiri), al-Awwal (Yang paling awal), al-Akhir (Yang paling akhir), al-Hayyu (Yang hidup kekal), al-Qayyum (Yang maujud sendiri).

2. Nama yang berhubungan dengan makhluk Allah ialah, al-Khaliq (Yang menciptakan), al-Bari (Yang menciptakan ruh), al-Mushawwir (Yang membentuk), al-Badi’ (Yang menciptakan pertama kali).

3. Nama yang berhubungan dengan sifat cinta kasih Allah
(selain sifat Rabb, Rahman dan Rahim) ialah al-Rauf (Yang Maha-kasih dan sayang), al-Wadud (Yang penuh cinta-kasih), al-Lathif (Yang lembut hati), al-Tawwab (Yang berulang-ulang kasih sayang-Nya), al-Halim (Yang Maha penyantun), al-’Afuwwu (Yang Maha-mengampuni), al-Syakur (Yang melipatkan ganjaran), al-Salam (Pencipta perdamaian), al-Mu’min (Yang menganugrahkan keamanan), al-Barru (Yang dermawan), Rafi’ud-Darajat (Yang meningkatkan derajat), al-Razzaq (Pemberi rezeki), al-Wahhab (Yang Maha-memberi) al-Wasi’ (Yang melimpah pemberian-Nya).

4. Nama yang berhubungan dengan keagungan dan kemuliaan Allah ialah: al-’Adzim (Yang Maha-agung), al-’Aziz (Yang Maha-perkasa), al-’Aliyyu atau Muta’al (Yang Maha-luhur), al-Qawiyyu (Yang Maha-kuat), al-Qahhar (Yang Maha-unggul), al-Jabbar (Yang memperbaiki segala sesuatu dengan kekuatan yang luar biasa) 11,  al-Mutakabbir (Yang memiliki kebesaran), al-Kabir (Yang Maha-besar), al-Karim (Yang Maha-mulia), al-Hamid (Yang Maha-terpuji), al-Majid (Yang Maha-jaya), al-Matin (Yang Maha-kuat), azh-Zhahir (Yang menang), Dhul-Jalali wal-Ikram (Yang mempunyai keagungan dan kemuliaan).

5. Nama yang berhubungan dengan ilmu Allah ialah: al-’Alim (Yang Maha-tahu), al-Hakim (Yang Maha-bijaksana), as-Sami’ (Yang Maha-mendengar), al-Khabir (Yang Maha-waspada), al-Bashir (Yang Maha-melihat), asy-Syahid (Yang Maha-menyaksikan), ar-Raqib (Yang Maha-mengawasi), al-Bathin (Yang Maha-tahu segala sesuatu yang tersembunyi), al-Muhaimin (Yang menjaga semuanya).

6. Nama yang berhubungan dengan penguasaan Allah terhadap makhluk ialah: al-Qadir atau Muqtadir (Yang Maha-kuasa), al-Wakil (Yang mengurus segala sesuatu), al-Waliyyu (Yang melindungi), al-Hafizh (Yang memalihara) al-Maalik (Raja), al-Malik (Yang memiliki), al-Fattah (Yang memutus perkara), al-Haasib atau al-Hasiib (Yang menghitung), al-Muntaqim atau Dhun tiqam (Yang menimpa-kan pembalasan), al-Muqith (Yang menguasai segala sesuatu).

7. Nama Tuhan yang diambil dari beberapa perbuatan atau sifat Tuhan yang disebutkan dalam Al-Quran ialah: al-Qabidlu (Yang menyempitkan), al-Basithu (Yang melapangkan), al-Rafi’u (Yang meninggikan), al-Muizzu (Yang membri kehormatan), al-Mudhillu (Yang mendatangkan kehinaan), al-Mujib (Yang mengabulkan do’a). al-Baits (Yang membangkitkan dari kubur), al-Muhsyi (Yang mencatat segala sesuatu), al-Mubdi (Yang memulai), al-Mu’id (Yang mengulangi), al-Muhyi (Yang memberi hidup), al-Mumit (Yang menyebabkan mati), Malikul-Mulk (Yang memiliki kerajaan), al-Jami (Yang menghimpun), al-Mughni (Yang memperkaya), al-Mu’thi (Yang memberi), al-Mani’ (Yang menahan atau mencegah), al-Hadi (Yang memberi petunjuk), al-Baqi (Yang kekal), al-Warits (Yang mewariskn segala sesuatu).
Adapun sisa dari sembilanpuluh sembilan asma’ul-husna ialah, an-Nur (Cahaya); sebenarnya ini bukan nama Allah, Allah disebut Nur dalam arti Yang memberi cahaya (24:35); ash-Shabur (Yang Maha-sabar), ar-Rasyid (Yang menunjukkan), al-Muqsith (Yang tak berat sebelah), al-Wali (Yang memerintah), al-Jalil (Yang penuh kebesaran), al-’Adlu (Yang Maha-adil), al-Khafidlu (Yang memelihara), al-Wajid (Yang maujud), al-Muqaddim (Yang terdahulu), al-Mu’akhkhir (Yang terakhir), adl-Dlarr (Yang mendatangkan kemalangan), an-Nafi’u (Yang memberi faedah). Masih ada dua sifat Allah yang termasuk golongan ini yang akan kami bahas nanti, mengingat dua sifat ini memerlukan pembahasan yang terperinci; dua sifat itu ialah yang berhubungan dengan kalam (firman) dan iradah (kehendak).

Sifat cinta kasih Allah lebih menonjol

Terang sekali bahwa sifat Allah di atas tak ada sangkut-pautnya dengan autokrasi, tak mengenal ampun, dendam, dan kejam, yang biasa disangkut pautkan oleh kebanyakan penulis Eropa dengan gambaran Allah yang dilukiskan dalam Al-Quran. Sebaliknya, sifat cinta kasihlah yang dalam Al-Quran lebih ditonjolkan daripada dalam Kitab Suci yang lain. Bukan saja setiap Surat diawali dengan dua sifat Rahman dan Rahim, yang ini menujukkan bahwa cinta kasih Allah itu amat menonjol, melainkan Al-Quran melangkah lebih jauh lagi, dengan memberi tekanan berat kepada maha-luasnya rahmat (kemurahan) Allah yang tak terhingga. 

Berikut ini beberapa contoh yang disebutkan dalam Al-Quran:
“Ia telah menetapkan rahmat atas diri-Nya” (6:12; 6:54).
“Tuhan kamu adalah Tuhannya rahmat yang maha-luas” (6:164).
“Dan kasih sayang-Ku meliputi segala sesuatu” (7:156).
“Kecuali orang yang Tuhan dikau berbelas kasih kepadanya; dan karena itulah Dia menciptakan mereka” (11:119).
“Wahai hamba-hambaku yang berbuat melebihi batas terhadap jiwanya, janganlah berputus asa akan kemurahan Allah; sesungguhnya Allah itu mengampuni semua dosa” (39:53).
“Tuhan kami! Engkau telah merangkum segala sesuatu dalam rahmat dan ilmu” (40:7).
Rahmat Allah begitu besar, hingga itu merangkum kaum mukmin dan kaum kafir, sebagaimana diuraikan dalam ayat tersebut. Malahan para musuh Nabi Suci juga dikaruniai rahmat Allah. Al-Quran berfirman: “Dan apabila Kami icipkan rahmat kepada manusia setelah mereka ditimpa kemalangan, tiba-tiba mereka membuat rencana untuk menentang ayat-ayat Kami” (10:21). 

Berulangkali Al-Quran menerangkan bahwa jika kaum musyrik ditimpa kemalangan, mereka menyeru kepada Allah, lalu Allah menyingkirkan kemalangan mereka.

Gambaran sifat Allah yang dilukiskan dalam Al-Quran dari awal hingga akhir, semuanya berupa cinta dan kasih; dan sementara sifat kasih Allah diuraikan dengan berbagai nama dan diulangi beratus kali, sifat Allah menimpakan siksaan – Yang menimpakan pembalasan – hanya tercantum empat kali saja di seluruh Al-Quran (3:3; 5:95; 14:47; 39:37). 

Memang benar bahwa hukuman terhadap kejahatan merupakan pokok persoalan yang paling ditekankan oleh Al-Quran, tetapi dalam hal ini tujuannya hanyalah untuk menanamkan pengertian bahwa kejahatan paling dibenci oleh Allah dan harus dijauhi oleh manusia; dan secara intensif Al-Quran bukan saja meletakkan tekanan pada pemberian ganjaran terhadap perbuatan baik, melainkan melangkah lebih maju lagi dan menytakan berulangkali bahwa kejahatan itu akan diampuni atau dijatuhi hukuman yang setimpal dengan kejahatan itu sendiri. Sebaliknya, perbuatan baik akan mendapat ganjaran lipat sepuluh, lipat seratus atau bahkan tak ada batasnya. Tetapi disamping itu hendaklah diingat, bahwa menurut Al-Quran, tujuan siksaan adalah untuk penyembuhan, dan sekali-kali bukan balas dendam; siksaan adalah penyembuhan terhadap penyakit yang ditimbulkan oleh manusia sendiri. Jadi dalam hal ini, sifat cinta kasihlah yang menonjol, karena tujuan siksaan adalah untuk menyembuhkan penyakit agar manusia dapat berjalan menuju ke arah kemajuan rohani.

Salah satu nama Allah yang oleh para ulama akhir-akhir ini dimasukkan dalam asma’ul-husna sembilanpuluh sembilan, sekalipun itu tak disebutkan dalam Al-Quran, ialah adl-Dlarr, atau yang menyebabkan kemalangan; akan tetapi kemalangan ini hanyalah dalam arti terbatas, yakni hukuman suatu kejahatan dengan tujuan untuk penyembuhan. Al-Quran berfirman: “Dan Kami timpakan kepada mereka kemalangan dan kesengsaraan agar mereka rendah hati” (6:42; 7:94).

Sifat-sifat Allah sebagai cita-cita luhur yang harus dicapai

Sebagaimana iman kepada Allah Yang Maha-esa merupakan sumber peningkatan rohani mereka, dengan membuat mereka sadar akan tingginya martabat manusia, dan mengilhami mereka dengan cita-cita luhur, berupa penaklukkan alam dan persamaan derajat antara sesama manusia, maka dari itu, sifat-sifat Allah yang diwahyukan dalam Al-Quran, itu sebenarnya dimaksud untuk menyempurnakan karakter manusia.
 Sebenarnya sifat-sifat Allah itu untuk digunakan sebagai cita-cita luhur yang harus dicapai manusia. Allah adalah Rabbul-’alamin, yang mengasuh dan memelihara sarwa sekalian alam; jika sifat Allah ini digunakan sebagai cita-cita, maka orang harus bekerja keras untuk melayani sesama manusia sebagai tujuan hidupnya, bahkan melayani makhluk yang tak dapat bicara sekalipun.

Allah adalah Rahman, Yang memberi segala kebutuhan manusia dan mempertontonkan kasih-sayang-Nya, sekalipun manusia tak berbuat sesuatu yang pantas untuk mendapatkan kasih sayang itu; manusia yang ingin mencapai kesempurnaan harus berbuat baik kepada sesama manusia tanpa mengharap balasan atau keuntungan apa pun dari mereka.

Allah adalah Rahim, Yang membalas setiap perbuatan baik berlipat-lipat; demikian pula orang harus membalas setiap kebaikan yang ia terima dari orang lain.
Allah adalah Malik, Yang menghukum perbuatan jahat bukan karena balas dendam atau untuk melaksanakan keadilan yang tegar, melainkan hukuman yang dihayati dengan pengampunan bagaikan seorang majikan yang memaafkan kesalahan pelayannya; maka dari itu jika orang ingin mencapai kesempurnaan, ia harus banyak memberi maaf kepada orang lain.

Apa yang kami uraikan di atas adalah empat sifat utama Allah, dan orang dapat melihat dengan mudah bagaimana sifat-sifat itu digunakan sebagai cita-cita manusia. Demikian pula halnya sifat-sifat Allah yang lain. Ambillah misalnya sifat Allah yang berhubungan dengan cinta dan kasih, Allah adalah Kasih sayang (al-Ra’uf), Cinta kasih (al-Wadud), Lembut hati (al-Latiif). Berulangkali kasih sayang-Nya (al-Tawwab), Yang Maha-penyantun (al-Halim), Yang Maha-mengampuni (al-’Afuwwu), Yang menggandakan ganjaran (al-Syakur), Yang menciptakan perdamaian (al-Salam). Yang menganugerahkan keamanan (al-Mu’min), Yang Dermawan (al-Barru), Yang meninggikan derajat (Rafi’ud-darojat), Yang melimpah-limpah pemberian-Nya (al-Wasi’), Yang memberi rezeki (al-Razzaq) dan sebagainya, manusia juga harus berusaha seperti itu. Selanjutnya, ambillah misalnya sifat Allah yang berhubungan dengan ilmu. Allah adalah Yang Maha-tahu (al-’Alim), Yang Maha-bijaksana (al-Hakim), Yang Maha-waspada (al-Khobir), Yang maha-melihat (al-Bashir), Yang Maha-mengawasi (al-Haqib), Yang Maha-tahu akan segala sesuatu yang tersembunyi (al-Bathin), manusia juga harus berusaha untuk menyempurnakan ilmunya dan mendapat hikmah.

Sebenarnya, di mana manusia dikatakan sebagai khalifah Allah (2:30), maka ciri utama yang membuat mereka terkemuka sebagai orang yang dapat memerintah sekalian makhluk ialah, pengetahuan mereka akan segala sesuatu (2:31). Adapun mengenai hikmah, ini diuraikan dalam Al-Quran bahwa Nabi Muhammad saw itu dibangkitkan untuk mengajarkan Kitab dan Hikmah (2:151; 3:163; 62:2).

Selanjutnya, ambillah misalnya sifat Allah yang berhubungan dengan kekuatan, kebesaran, dan penguasaan atas segala sesuatu, sampai-sampai malaikat pun disuruh bersujud kepada manusia; ini menunjukkan bahwa manusia ditakdirkan supaya menguasai sekalian makhluk hingga malaikat. 

Malahan dalam Al-Quran diterangkan berulangkali, bahwa apa saja yang ada di langit maupun di bumi, semuanya dibuat untuk melayani manusia. Memang benar, bahwa kecintaan manusia, kasih-sayangnya, ilmunya, kebijaksanaannya dan kekuasaannya atas segala sesuatu bukan apa-apa jika dibandingkan dengan Allah, akan tetapi betapapun tak sempurnanya segala sesuatu yang dicapai manusia, kenyataan menunjukkan bahwa manusia mencita-citakan akhlak Tuhan sebagai tujuan hidupnya, yang ini manusia harus berusaha untuk mencontohnya.

Sumber: Islamologi, (The Religion of Islam) oleh  Maulana Muhammad Ali MA LLB,
Penerbit, Darul Kutubil Islamiyah, Jakarta